-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Rekrutmen dan Mental Polisi


Rekrutmen polisi merupakan salah satu prioritas dalam program “quick wins” yang diharapkan bahwa untuk masuk menjadi anggota kepolisian (Polri), harus bebas dari KKN ( korupsi, kolusi dan nepotisme) serta perbuatan tercela lainnya yang menghianati cita-cita reformasi Polri. Setiap tahun, Polri mencanangkan penerimaan anggota polisi untuk pendidikan pembentukan maupun pengembangan seperti halnya penerimaan untuk pendidikan Calon Brigadir Polisi (TNI = sersan dua), Akademi Kepolisian (Akpol) juga penerimaan pendidikan Calon Perwira Polisi. Demikian pula dengan rekruitmen atau seleksi pendidikan pengembangan seperti Setukpa, Selapa, PTIK, Sespim maupun Sespati yang dilaksanakan di seluruh seluruh Indonesia melalui polda masing-masing. Idealismenya, tekad untuk menjadikan institusi ini (baca: Polri) yang bersih dan berwibawa (clean goverment), cikal bakalnya adalah melalui rekrutmen berbasis kompetensi. Dengan harapan, bahwa di kemudian hari akan lahir para polisi yang jujur, bersih, humanis dan berwibawa, sehingga kepercayaan publik akan lebih baik dan meningkat lagi.
Di setiap polda, tidak dapat dipungkiri bahwa animo untuk dapat masuk menjadi anggota polisi dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan, untuk pendaftaran pada berbagai tingkatan pendidikan kepolisian. Kita tidak berapriori dan tetap percaya kepada para petinggi Polri yang menegaskan bahwa rekrutmen polisi pada berbagai tingkatan atau jenjang pendidikan harus dilaksanakan dengan benar-benar bersih dari praktik korupsi, titip menitip, suap dan lainnya. Selama ini masih ada stigma di masyarakat dan menjadi rahasia umum, bahwa untuk menjadi polisi sampai harus menghabiskan uang ratusan juta rupiah mulai dari “najong galeng, najong kebon, jual sapi, munding jeung tambak“ (jual sawah, jual kebun, jual sapi, kerbau dan tambak), yang penting dapat diterima menjadi anggota polisi. Jika ini terjadi sungguh sangat ironis, di mana polisi sebagai garda terdepan dalam penegakkan hukum seharusnya lebih bersih dari instansi-instansi lain.
Polri telah membuktikan keandalannya dengan berbagai prestasi emas yang ditorehkan dalam mengungkap berbagai kasus kejahatan / kriminal, baik skala nasional, regional maupun internasional seperti pengungkapan teroris, illegal logging, illegal mining, illegal fishing, cyber crime dan lain sebagainya. Bukan hanya kebanggaan bagi korps polisi yang berseragam coklat-coklat saja bila dapat mengungkap kasus nasional maupun transnasional tersebut, juga merupakan kebanggaan bagi bangsa dan Negara Indonesia. Namun sayang kesan membiarkan gajah dipelupuk mata, khususnya dalam rekrutmen polisi melalui praktik percaloan, suap, surat sakti, titipan dan katabelece masih menjadi ganjalan yang harus dikikis habis. Kualifikasi seorang calon yang notabene memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang yang dibutuhkan polisi seakan-akan tidak berguna dan tidak dapat diterima menjadi anggota polisi, apabila tidak memiliki koneksi dan uang sebagai jaminan. Rekrutmen polisi sudah sepatutnya tanpa diskriminasi dengan memandang kedudukan dan jabatan. Dalam kampanye penerimaaan para polisi, Polri menyatakan perang terhadap praktik korupsi, kolusi, nepotisme, suap dan lainnya, yang dibutuhkan adalah benar-benar pereserta dengan hasil kompetensi secara fair dan terbuka. Kenyataannya??
Bentuk nyata dari semua itu Polri, dalam proses rekrutmen anggota polisi selain secara internal melakukan pengawasan, juga turut dilibatkan berbagai elemen pengawasan eksternal terkait seperti Dinas Pendidikan, Ikatan Dokter Indonesia, Pers dan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk turut serta melakukan pemantauan dan pengawasan dalam rekrutmen polisi agar tidak terjadi penyimpangan yang merugikan institusi kepolisian. Tentunya tanpa intervensi ke dalam internal Polri. Melalui keterlibatan berbagai elemen tersebut, diharapkan rekrutmen polisi dari tahun ke tahun serta selanjutnya, benar-benar bersih dan menghasilkan para polisi yang professional, humanis, jujur, bersih dan modern. Untuk itu tekad pimpinan polisi untuk membersihkan berbagai praktik tidak terpuji patut didukung penuh, dan berharap, apa yang dikampanyekan selama ini melalui program quick wins dalam transparansi rekrutmen polisi bukan hanya retorika dan kiasan serta ”isapan jempol” belaka.

Mental Polisi dan Citra Negatif
Mayoritas masyarakat sudah tidak lagi percaya terhadap polisi. Apalagi setelah kasus kriminalisasi KPK. Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, banyak masyarakat cenderung memandang negatif polisi. Persepsi masyarakat yang buruk terhadap polri ini bisa dimaklumi. Boleh dikatakan, ini puncak kekecewaan masyarakat terhadap sikap polisi selama ini. Tulisan ini sebagai kritik atas kinerja polisi, agar dapat meningkatkan kinerjanya, sesuai dengan semboyan dan moto polisi ”Melindungi, mengayomi dan melayani Masyarakat”. Tulisan ini merupakan harapan dan kecintaan masyarakat agar polisi Indonesia semakin baik dan profesional dalam pelayanan terhadap masyarakatnya.
Sebagian masyarakat merasa kecewa dan memandang negatif polisi, itu karena persepsi masyarakat terhadap mental polisi sudah terlanjur negatif. Meskipun pada saat-saat tertentu polisi dapat mengungkap kasus-kasus besar yang menjadi sorotan dunia seperi halbya kasus terorisme. Karena yang lebih utama adalah keberadaan polisi yang dapat dilihat dan dirasakan secara nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Berikut ini adalah beberapa mental negatif yang harusnya segera diperbaiki atau mungkin dalam proses perbaikan oleh institusi kepolisian, diantaranya:

1. Mental suap: ”Ada uang, semua urusan beres”.

Perhatikan bagaimana proses rekrutmen polisi. Bukankah sudah menjadi rahasia umum kalau ingin menjadi polisi ataupun seleksi pendidikan pengembangan harus membeli “tiket masuk” alias suap? Dengan proses rekruitment yang buruk ini tentu berimbas pada minimnya orang jujur dan berintegritas di tubuh Polri. Bagaimana mereka hendak menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan sementara mereka sendiri bukan termasuk orang-orang yang jujur, benar dan adil?
Perhatikan pula proses mendapatkan SIM (Surat Izin Mengemudi). Jika polisi ingin bersih dari mental ini, seharusnya tidak memperbolehkan pembelian SIM tanpa ujian dengan cara ”menembak” atau melakukan suap. Yang terjadi sekarang ini adalah: polisi berburu pengemudi tanpa SIM (masyarakat dipaksa harus punya SIM), masyarakat dipersulit mendapatkan SIM dengan proses yang benar (ujian) dan sebaliknya dengan cara menyuap cenderung dipermudah.
Dengan demikian, bukan hanya membudayakan suap di kalangan internal saja, Polri juga mendidik masyarakat bermental suap. Nah, kalau suap-suap kecil ini dianggap biasa dan menjadi budaya, tentu tidak heran jika suap besar untuk melakukan konspirasi bisa diterima begitu saja.

2. Manipulatif
Entah berapa banyak orang yang sebenarnya tidak bersalah dipaksa oknum polisi untuk mengaku salah. Mereka bahkan diancam jika tidak mengakui sesuatu yang sebenarnya bukan kesalahannya. Orang yang tidak bersalah tetapi dipaksa untuk mengaku salah. Contoh terakhir adalah rekayasa kasus yang terjadi di Polres ”X” di Jakarta beberapa waktu yang lalu.

3. Siap ”Ndan”
Menjadi Siap ”Ndan” pada atasan atau asal taat tanpa pertimbangan nurani dan pikiran jernih kadang menjengkelkan juga. Dapat dilihat bahwa tidak dapat dipungkiri polisi berada dalam strata sosial yang berkelas-kelas. Keutamaan seorang polisi seolah-olah ditentukan oleh pangkat dan jabatannya. Polisi kelas rendahan harus taat pada polisi kelas atas, walaupun perintahnya kadang tidak benar. Ujung-ujungnya beberapa polisi mengalami konflik batin dan akhirnya menyerang atasan serta menjadi pemberontak yang menakutkan dan bahkan menimbulkan korban jiwa. Sebagai contoh, kejadian di sebuah Polwiltabes di Polda Jawa Tengah, dimana seorang anak buah menembak mati atasannya hanya gara-gara sakit hati. Atau bahkan ada anggota polisi yang mengundurkan diri dari institusi kepolisian karena merasa tidak diapresiasi atau dihargai apa yang telah dilakukannya, padahal yang bersangkutan memiliki integritas dan kemampuan melebihi anggota polisi lainnya.

4. Angkuh dan Arogan
Menjadi polisi berseragam memang tampak gagah, berkuasa, mempunyai kekuatan dan sangat berwibawa sekali di hadapan masyarakat. Seusia muda sekalipun, ketika menggunakan seragam lengkap, masyarakat akan menyapa dengan kata-kata ”Bapak” atau ”Ibu”. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sangat menghormati sosok polisi. Seharusnya, hal tersebut bukan menjadi alasan untuk bersikap angkuh, sombong, arogan dan mau menang sendiri. Sebab, dengan keangkuhan, kesombingan dan arogansi, manusia sebetulnya akan jatuh, namun dengan kerendahan hati, sopan santun manusia akan diangkat dan mulia baik di mata manusia dalam masyarakat terlebih lagi di mata Sang Pencipta. Bukankah seiring dengan kekuatan (kekuasaan) yang besar terdapat tanggung jawab yang besar? Demikian pula, bukankah dengan semakin tinggi pangkat terdapat beban tanggung jawab yang tinggi pula?

5. Pelit Senyuman
Sebetulnya masyarakat sangat merindukan sosok polisi (terutama polisi berseragam) yang murah senyum, polisi yang melayani dengan tulus serta terpancar kebahagiaan dari wajahnya dalam melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat akan bahagia dengan pekerjaannya itu. Bukan dengan tampang kaku, seram dan menakutkan. Terhadap pelaku kejahatan saja harus memperhatikan aturan dan norma yang berlaku, jangan sampai melanggar Hak Asasi Manusia. Bukankah ada moto “Senyum, Sapa, Salam” dalam melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan polisi?
Tulisan di atas, semata-mata sebagai kritik membangun untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerja kepolisian. Tidak bermaksud untuk memojokkan atau merendahkannya. Semoga persepsi masyarakat terhadap kepolisian ke depan dapat berubah seiring dengan meningkatnya kinerja dan profesionalisme polisi.
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

1 comment

Davin said…
tulisan anda cukup menarik dan mengesankan. mohon kunjungan balasannya https://law-justice.co/citra-polisi-semakin-buruk-di-masyarakat.html
Subscribe Our Newsletter