-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Kekerasan Oleh Polisi, mengapa Masih Terjadi?


Era reformasi telah membawa organisasi Polri ke dalam wajah baru, dari semula sebagai alat keamanan menjadi komunitas keadilan dengan penampilan yang humanis. Konsekuensinya, watak represif harus diganti dengan pendekatan dialogis yang humanis pula, termasuk lewat pemisahan Polri dari angkatan bersenjata (ABRI/TNI). Namun, pertanyaannya sudahkah wajah baru Polri tersebut mengubah watak lamanya?
Saat ini, sejak dicanangkannya Strategi Besar guna membangun serta memperoleh kepercayaan masyarakat secara gencar dilaksanakan di mana-mana, Polri memperkenalkan konsep pengembangan dirinya lewat apa yang disebut dengan pemolisian masyarakat (community policing). Konsep ini dipercaya bahwa Polri akan berhasil mengemban tugas, misinya, jika Polri melebur bersama masyarakat, menempatkan dirinya agar terbantu oleh masyarakat untuk kemudian bersama-sama mengatasi masalah hukum, ketertiban, dan keamanan masyarakat yang semakin hari semakin kompleks saja.
Kekhasan community policing yang menekankan pada pentingnya peran dan keterlibatan masyarakat untuk mendukung terciptanya polisi sipil yang profesional dan bertanggung-jawab merupakan suatu bentuk dukungan yang strategis terhadap program reformasi Kepolisian di Indonesia. Hal ini terutama karena adanya dua aspek penting dalam upaya reformasi tersebut, yaitu: pertama, adanya kebutuhan untuk menghilangkan Kepolisian dari cara-cara yang militeristik dengan mentransformasikannya menjadi suatu institusi sipil yang melayani dan melindungi masyarakat; serta yang kedua yaitu kebutuhan untuk mereformasi polisi guna mendukung proses demokratisasi yang lebih luas di Indonesia. Selain itu, community policing juga sangat diperlukan guna memberikan kemampuan kepada pihak Kepolisian untuk merespon secara memadai dan cepat kebutuhan-kebutuhan dari warga masyarakat atas lingkungan yang aman.
Polisi yang merangkul bukan memukul, polisi yang mengajak bukan membentak, polisi yang mendidik bukan menghardik. Kalimat tersebut bukan sekedar kalimat yang tidak memiliki makna namun jauh dari itu kalimat tersebut memiliki makna yang luar biasa dalam mendorong jajaran Polri lebih meningkatkan citra dan profesionalismenya agar mampu berperan sebagai "pelayan dan pengayom" yang menjadi mitra masyarakat.
Kita semua menyesalkan terjadinya peristiwa kekerasan yang terjadi di Makasar, beberapa waktu yang lalau dengan terjadinya pengrusakan Kantor Sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Makasar. Sehingga aksi menyebabkan saling lempar batu antar demonstran dan aparat, semestinya tidak perlu terjadi. Apalagi penggunaan kekuatan secara eksesif oleh Polri dengan mengerahkan ratusan personel. Aparat kePolrian lebih terlihat bertindak sebagai alat kekerasan negara ketimbang pelindung atau pengayom masyarakat.
Menangani unjuk rasa menentang maupun mendukung hasil kerja Pansus DPR tentang kasus Bank Century sama sekali tidak bisa dibenarkan apabila dilakukan secara anarkis. Suasana menjadi anarkis, akibat kedua belah pihak tidak dapat menahan diri. Namun kejadian yang seringkali menjadi sorotan, apabila suasana anarkis tersebut menyebabkan korban di pihak demonstran (mahasiswa atau warga) sekalipun Polri beralasan mencari oknum mahasiswa atau warga yang melanggar hukum dan melakukan kekerasan terhadap aparat. Alasan ini harus disikapi secara profesional, bukan secara emosional ikut melanggar hukum dan melakukan kekerasan terhadap para demonstran.
Polri sebenarnya telah mengembangkan metode negosiasi-persuasif dan penggunaan peralatan defensif yang lebih canggih mengingat karakter demonstrasi massa yang dihadapi Polri lebih banyak yang mengambil bentuk aksi damai. Penyerangan secara paksa ke Kantor Sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Makasar mengingatkan kembali pada penanganan unjuk rasa mahasiswa sebelum dan setelah mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Pilihan kebijakan ABRI adalah melarang mahasiswa berunjuk rasa keluar kampus. Meski unjuk rasa digelar di areal kampus, toh ABRI membubarkan unjuk rasa secara represif. Mereka yang keluar kampus berujung pada penembakan dan pembubaran paksa.

Penegak HAM
Tantangan reformasi untuk Polri adalah membangun Polri sebagai penegak HAM. Perlindungan HAM mensyaratkan ketiga unsur pokok untuk dipenuhi dalam penggunaan kekuatan Polri; 1) ditujukan bagi pemeliharaan ketertiban sosial dan perdamaian; 2) keselamatan aparat penegak hukum yang bertugas; 3) publik secara luas. Aparat penegak hukum, khususnya kePolrian, dapat memainkan peran yang strategis karena institusi ini memiliki kewenangan untuk menggunakan kekerasan dan senjata api dalam menjaga ketertiban sosial dan perdamaian di masyarakat. Namun, kewenangan ini harus diatur dan diawasi secara ketat agar tidak membahayakan penegakan hukum itu sendiri.
Pertama, negara harus bertindak jika terjadi penyimpangan prosedur penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparatur penegak hukum. Karena Polri bukan lembaga militer, prioritas utama kebijakan negara harus mengembangkan segala prosedur dan peralatan yang sebisa mungkin tidak memerlukan senjata mematikan. Kedua, dalam menjalankan tugas, setiap penegak hukum harus mengutamakan pendekatan nonkekerasan sebisa mungkin dan harus didahulukan sebelum penggunaan tindak kekerasan. Ketika penggunaan kekerasan tak terhindarkan, korban harus diminimalkan dan hak atas hidup harus tetap dijunjung tinggi.
Pimpinan Polri harus memastikan bahwa penyalahgunaan kewenangan kekerasan dan senjata api harus bisa dinyatakan sebagai suatu kejahatan dan pelakunya harus dihukum. Situasi darurat apapun tidak bisa membenarkan pengabaian atas prinsip-prinsip ini, termasuk dengan tetap menjaga keselamatan semua pihak. Polri yang kini berada langsung di bawah presiden, jika eksesif dalam mengamankan kebijakan pemerintah, akan mengembalikan format politik kekerasan negara seperti pada masa lalu. Sehingga bagaimana Strategi Besar yang dicanangkan Polri akan tercapai, jika pada pelaksanaannya tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat yang menjadi stakeholder untuk mendapat perlindungan dan pelayanan?



Menjadi Pelayan Masyarakat
Amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara secara gamblang menyebutkan bahwa peran utama polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pelayanan kepada orang ramai. Persoalannya, sudahkah peran utama polisi itu terwujudkan?
Salah satu ukuran untuk menjawab pertanyaan itu adalah bagaimana respons warga atas sosok pelayanan Polri itu sendiri. Bukan rahasia umum lagi bila kini masyarakat masih enggan berurusan dengan polisi. Ungkapan: ”Kalau melapor kehilangan ayam ke polisi malah akan kehilangan sapi” masih tetap guyonan yang menempel di benak warga.
Padahal, kini persoalan kamtibmas sepenuhnya telah menjadi tanggung jawab polisi apalagi setelah melepaskan diri dengan TNI. Peran utama Polri yang berhubungan langsung dengan pelbagai persoalan kamtibmas di masyarakat menjadi semakin kental dan sulit dihindari. Ibarat sisi mata uang, demikian gambaran yang jelas antara polisi dan masyarakat dalam hubungan dengan kamtibmas. Masyarakat membutuhkan rasa aman yang diberikan polisi. Sebaliknya, polisi membutuhkan pengakuan keberadaannya dalam masyarakat.
Kondisi itulah yang menyebabkan pakar kepolisian Amerika Serikat (AS), Walter Hartinger mengatakan bahwa bila ingin melihat citra polisi maka lihatlah keadaan masyarakat pada waktu yang sama pula. Artinya, wajah polisi itu pada dasarnya merupakan pantulan wajah masyarakat. Kesimpulan Walter Hartinger itu tepat. Buktinya saja, dalam kasus pelanggaran lalu lintas di jalan tidak sedikit tawaran denda damai (atau istilah di polisi ”86”) justru terjadi karena adanya tawaran langsung dari pelanggar lalu lintas tersebut. Tragisnya, lagi oknum polisi lalu lintas pun akhirnya menerima tawaran itu. Si pelanggar lalu lintas pun senang karena tidak usah cape-cape mengikuti sidang. Sementara si oknum polisi lalu lintas tersebut dapat ”uang bensin”.
Ke depan dengan sejumlah tantangan yang kian kompleks seiring dengan kian kompleksnya persoalan dalam masyarakat, contoh-contoh seperti di atas harus dikikis habis. Harapan masyarakat dengan sosok Polri yang melayani, mengayomi dan mengabdi masyarakat, tidak lagi diwujudkan dalam sebuah hubungan yang menyalahi aturan main seperti denda damai atau ”86” tersebut. Malah, sebaliknya polisi harus berani menegakkan aturan dengan menolak ”ajakan damai” dari masyarakat. Mendidik masyarakat memang sulit, tapi agar cermin polisi menjadi lebih baik, mau tidak mau, suka atau tidak suka, polisi harus berani mendidik masyarakat untuk taat aturan. Dalam konteks ini pada akhirnya pelayanan prima menjadi faktor utama yang tidak boleh disepelekan.
Adanya harapan masyarakat yang terlampau banyak pada peran polisi sebenarnya menjadi modal utama bagi Polri untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Membasmi segala bentuk kejahatan, menolong golongan lemah yang teraniaya, penegak hukum sekaligus pembimbing rakyat yang tampan simpatik. Polisi juga harus bersih dari cacat dan cela. Nantinya masyarakat akan berharap sosok polisi sebagai pelayan masyarakat yang simpatik, penegak hukum yang tegas tapi tetap luwes dan pemburu kejahatan yang tangguh.
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

1 comment

Anonymous said…
saya terkesan dengan tulisan ini...tapi hati ini terasa sangat sedih ketika mendengar kesaksian saudara- saudaraku yang jauh di ujung sumatera utara tepatnya di kepolisian kabupaten dairi sidikalang. ketika seorang suami yang diadukan oleh istrinya ke polisi,telah melakukan kekerasan padahal hal itu menurut orang disekitarnya tidak pernah terjadi, alhasil tanpa bukti yang nyata suami dari N dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan, karena tidak ada satu alasanpun yang dapat dibuktikan, polisi lau kemudian menampari, dan menendang serta memaki- maki suami N. samapi lebam. suatu peristiwa yang menyedihkan..katanya polisi melindungi masyarakat. dan menangani masalah tanpa ada kekerasan...mengapa ini bisa terjadi...apakah karena mereka adalah orang- orang kecil yang tidak punya kekutan hukum untuk membela diri sehingga seolah olah polisi merasa benar untuk bertindak sewenang- wenang, menampar dan menedang hingga lebam orang yang tidak terbukti bersalah....tolonglah untuk polisi- polisi yang ada di kabupaten dairi yang tidak tau akan tugasnya sebagai polisi diberi pembinaan khusus,,,saya prihatin akan semakin banyak orang yang disakiti disana...beanr- benar polisi yang tidak punya perasaan.
bagi siapa saja yang membaca ini tolong bantu mereka yang menjadi korban polisis yang tidak tau makna tugasnya..sampai hp aja bisa hilang dikantor polisi..ini gimana???
Subscribe Our Newsletter