-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

KUHAP Baru, Agar Lebih Bersinggungan dengan HAM, Keadilan, dan Efisiensi


Atang S

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum formil merupakan hukum tertulis secara nasional di Indonesia untuk mempertahankan dan melaksanakan aturan hukum materil (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sebagai landasan bagi aparat penegak hukum untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum. Adapun proses pelaksanaan acara pidana terdiri dari tiga tingkatan yang terdiri dari pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan pelaksanaan hukuman.
KUHAP sebagai penganti HIR (Herziene Inlands Reglemene) merupakan karya agung bangsa Indonesia yang mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1981. Secara mendasar, KUHAP relative lebih progesive selangkah jika dibandingkan dengan HIR dan menghormati asas-asas penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia secara universal, meskipun belum banyak prinsip-prinsip HAM yang terakomodir. KUHAP merupakan perkuatan dari tujuan dibentuknya Peraturan Perundang–undangan untuk mengekang orang agar tidak melakukan tindak kejahatan. Namun demikian dalam rangka pencapaian tujuan dari dibentuknya peraturan tersebut adalah dengan melakukan maksimalisasi terhadap peraturan tersebut untuk menjamain tercapainya keadilan dan keamanan demi tegaknya hukum.
Dalam pelaksanaannya, maka peraturan tersebut dijaga dan ditegakan oleh aparatur negara yang bertugas melakukan penegakan hukum. Dalam sistem di Indonesia dilakukan oleh penyidik (Polri), jaksa dan hakim. Karena itu, terdapat hal-hal penting khususnya yang mengatur tata cara dan pelaksanaan penegakan hukum. Penting karena sangat bersinggungan dengan hak azasi manusia, keadilan, dan efisiensi. Hal tersebut diatur dalam hal yang dinamakan Hukum Acara Pidana. Secara universal hukum acara pidana harus mengakomodir antara keseimbangan dari faktor hak azasi manusia, keadilan dan efisiensi untuk tercapainya tujuan penegakan hukum. Karena jika tidak secara cermat dan dirumuskan dapat berakibat pada ketidakseimbangan terhadap ketiga faktor yang ada, dan akan mengakibatkan terjadinya output yang kontra produktif baik terhadap korban, saksi, tersangka maupun masyarakat secara umum dalam proses penegakan hukum. Dengan kata lain bahwa hukum harus secara komprehensif menjaga keseimbangan antara hak hukum warga negara dan otoritas serta kewenangan yang bertanggung jawab pada para penegak hukum yang juga memiliki kewenangan dan kewajiban hukum dalam proses penegakan hukum.
Sejarah mencatat bahwa Bangsa Indonesia melalui putra-putrinya telah berhasil merumuskan hukum acara pada kurun waktu sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Walaupun masih terdapat beberapa ”kelemahan” namun bangsa Indonesia boleh berbangga dalam pergaulan internasional dengan KUHAP produk tahun 1981 penegakan hukum berjalan dengan cukup baik dan stabilitas cukup terjaga. Termasuk prestasi spektakuler para penyidik Polri dalam mengungkap dan mempidanakan pelaku kejahatan dalam lingkup ”extraordinary crime”, bahkan negara-negara maju memberikan penghargaan khusus kepada beberapa anggota Polri. Tidak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan KUHAP. Dengan melihat tiga pilar yaitu; Hak Asasi Manussia, Keadilan dan Efisiensi, maka masih perlunya upaya-upaya perkuatan dan penyempurnaan. Melihat hal tersebut, pemerintah melalui departemen terkait berusaha merumuskan KUHAP baru dalam rangka menjaga keseimbangan acara-acara pidana yang dilakukan oleh para penegak hukum. Departemen terkait melalui Tim Nasional Perumus KUHAP yang baru telah membuat draft yang berisi pasal-pasal yang mengatur mekanisme, serta kewajiban dan otoritas penegak hukum dalam beracara secara hukum. Terdapat pertentangan diantara para pihak yang berhubungan dengan penegakan hukum, baik penyidik Polri, Penuntut Umum, Hakim serta departemen terkait. Pertentangan ini bahkan berakibat pada dikembalikannya naskah yang sudah hampir ”final” kepada departemen terkait.
Kita perlu melihat secara komprehensif tentang permasalahan tersebut dari semua sisi dengan alasan utama yaitu kepentingan publik. Memang ada isu yang beredar bahwa KUHAP baru hanya bernuansa ”perebutan otoritas” diantara penyidik, jaksa, dan hakim serta okupasi dan subordinasi aparat hukum tertentu terhadap penyidik dan lain-lain. Secara bijak kita perlu melihat perbandingan antara KUHAP yang lama dan KUHAP yang baru, melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing rumusan. Tentunya tetap pada pakem hak azasi manusia, keadilan, dan efisiensi.
Harus diakui bahwa praperadilan memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan, karena: Pertama, tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan, misalnya tindakan penggeledahan, penyitaan dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksanya apabila terjadi pelanggaran. Disini lembaga praperadilan kurang memperhatikan kepentingan perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa dalam hal penyitaan dan penggeledahan, padahal penggeledahan yang sewenang-wenang merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat tinggal orang (privacy), dan penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik seseorang.
Kedua, praperadilan tidak berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, tanpa adanya permintaan dari tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Sehingga apabila permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan atau penahanan nyata-nyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku, maka sidang praperadilan tidak dapat ditiadakan.
Ketiga, lebih parah lagi sebagaimana kenyataan dalam praktek selama ini dalam pemeriksaan praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata-mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada atau tidaknya surat perintah pengkapan (Pasal 18 KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya. Padahal syarat materiil inilah yang menemukan apakah seseorang dapat dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan oleh penyidik atau penuntut umum. Tegasnya hakim pada praperadilan seolah-olah tidak peduli apakah tindakan penyidik atau jaksa penuntut umum yang melakukan penangkapan benar-benar telah memenuhi syarat-syarat mareriil, yaitu adanya ”dugaan keras” telah melakukan tindak pidana berdasarkan ”bukti permulaan yang cukup”. Ada tidaknya bukti permulaan yang cukup ini dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh hakim, karena umumnya hakim praperadilan menganggap bahwa hal itu bukan menjadi tugas dan wewenangnya, melainkan sudah memasuki materi pemeriksaan perkara yang menjadi wewenang hakim dalam sidang pengadilan negeri.
Demikian juga dalam hal penahanan, hakim tidak menilai apakah tersangka atau terdakwa yang ”diduga keras” melakukan tindak pidana berdasarkan ”bukti yang cukup” benar-benar ada alasan yang konkrit dan nyata yang menimbulkan kekhawatiran bahwa yang bersangkutan ”akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi perbuatannya”. Para hakim umumnya menerima saja bahwa hal adanya kekhawatiran tersebut semata-mata merupakan urusan penilaian subjektif dari pihak penyidik atau penuntut umum, atau dengan lain perkataan menyerahkan semata-mata kepada hak diskresi dari pihak penyidik dan penuntut umum. Akibatnya sampai saat ini masih banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan dalam hal penangkapan dan penahanan terhadap seorang tersangka ataupun terdakwa oleh pihak penyidik ataupun penuntut umum, yang tidak dapat diuji secara objektif karena tidak ada forum yang berwenang memeriksanya. Padahal dalam sistem habeas corpus act dari negara Anglo Saxon, hal kemerdekaan, harkat dan martabat manusia yang dirampas inilah yang justru menjadi tonggak ujian, apakah upaya paksa penangkapan dan atau penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum itu dilaksanakan secara sah atau sewenang-wenang.
Bahwa KUHAP yang ada saat ini masih belum mengakomodir hak azasi korban. Hampir tidak terlihat hal-hal yang berhubungan dengan perlindungan saksi dan korban termasuk jaminan untuk mendapatkan hak hukum yang sama. Sehingga kecenderungan terjadinya perlambatan penanganan kasus akibat tidak adanya sanksi hukum terhadap penyidik maupun penuntut yang menangani kasus tanpa memperhatikan efisiensi. Kita dapat melihat bagaimana kasus-kasus yang ditangani dalam waktu yang cukup lama, bertele-tele dan sangat inefisiensi.
Jaminan untuk mendapatkan keadilanpun sangat jauh dari harapan publik. Ada hal-hal yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk memanfatkan kelemahan KUHAP dalam hal kepastian terhadap adanya keadilan. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap apatis masyarakat akibat dari sulitnya untuk mendapatkan keadilan. Contohnya, hal yang berhubungan dengan properti atau benda milik korban yang dikuasai secara legal oleh pelaku, sangat sulit untuk diharapkan kembali kepada korban. Karena KUHAP tidak mengatur hak negara untuk merampas apa saja yang dimiliki oleh pelaku untuk dijadikan pengganti terhadap properti korban yang hilang, namun hal ini tidak diatur.
Demikian juga dalam hal menghadapi jaman baru dengan teknologi informasi, KUHAP masih belum mampu mengakomodir mobilitas tinggi yang diakibatkan oleh revolusi teknologi yang mengakibatkan kondisi budaya dan interaksi antar individu dan masyarakat yang serba real time. KUHAP belum mengenal konsep berita acara pemerikasaan dengan memanfaatkan email maupun sarana sarana multi media yang dapat memudahkan penyidikan dengan mengakomodir kemajuan teknologi. KUHAP sangat inefisiensi dan berbiaya tinggi. Dalam hal tindak pidana transnasional, berita acara harus dilakukan face to face dan hal ini sangat mengganggu proses penyidikan dan bahkan akan semakin bertele-tele dan tidak efisien.
Termasuk persamaan hak di muka hukum yang belum diakomodir oleh KUHAP. Kenyataannya KUHAP harus tunduk pada peraturan lain yang mewajibkan penyidik untuk mendapatkan otoritas dari pejabat tertentu dalam melakukan penyidikan khususnya upaya paksa terhadap pejabat publik. Hal ini disamping melanggar persamaan hak di muka hukum juga bertentangan dengan konsep inefisiensi, serta hukum menjadi komoditas politik pejabat. Inilah yang mengakibatkan sulitnya kejahatan korupsi diberantas. KUHAP harus mampu mengakomodir filosofi hukum yang mengedepankan praduga tak bersalah, persamaan hak di muka hukum, hak azasi manusia, dan efisiensi.
Akan tetapi tidak berarti karena kekurangan tersebut maka sistem praperadilan harus diganti dengan lembaga hakim komisaris. Harus diakui, tugas dan wewenang Hakim Komisaris sebagaimana dirumuskan dalam RUU KUHAP ternyata lebih luas daripada wewenang Hakim Praperadilan. Karena tidak hanya terbatas pada penangkapan dan penahanan ataupun penghentian penyidikan dan penuntutan melainkan juga perihal perlu tidaknya diteruskan penahanan ataupun perpanjangan penahanan, perlu tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, perlu tidaknya pencabutan atas penghentian penyidikan atau penuntutan, sah atau tidaknya penyitaan dan penggeledahan, serta wewenang memerintah menyidik atau penuntut umum untuk membebaskan tersangka atau terdakwa jika terdapat dugaan kuat adanya penyiksaan ataupun kekerasan pada tingkat penyidikan ataupun penuntut.
Sekalipun demikian model hakim komisaris yang pada dasarnya mengambil model pengawasan yang menjadi tradisi sistem peradilan Eropa Kontinental seperti halnya Perancis, mengandung beberapa kelemahan mendasar dibandingkan dengan lembaga praperadilan. Pertama, dilihat dari konsep dasarnya, kedua sistem tersebut memiliki konsep yang berbeda, sekalipun tujuannya sama yaitu sama-sama melindungi hak asasi manusia terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. Dalam kekuasaan negara, yakni hak kontrol dari kekuasaan kehakiman (yudikatif) terhadap jalannya pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan pihak eksekutif berdasarkan wewenangnya. Sedangkan lembaga praperadilan bersumber pada hak habeas corpus yang pada dasarnya memberikan hak kepada seseorang yang dilanggar hak asasinya untuk melakukan perlawanan (redress) terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau jaksa dengan menuntut yang bersangkutan dimuka pengadilan agar mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan membuktikan bahwa upaya paksa yang dilakukan tersebut tidak melanggar hukum (ilegal) melainkan sah adanya. Disini tekanan diberikan pada hak asasi yang dimiliki tersangka atau terdakwa sebagai manusia yang merdeka, yang karena itu tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang kemerdekaannya (menguasai diri orang).
Perbedaan hakiki tersebut membawa konsekuensi bahwa dalam konsep hakim komisaris, kemerdekaan seseorang amat digantungkan pada ”belas kasihan” negara, khususnya kekuasaan kehakiman untuk melaksanakan fungsi pengawasannya terhadap pihak eksekutif (penyidik dan penuntut umum) dalam menjalankan pemeriksaan pendahuluan. Sedangkan dalam konsep praperadilan, kemerdekaan orang itu memberikan hak fundamental padanya untuk melawan dan menuntut negara, dalam hal pihak eksekutif yaitu penyidik dan penuntut umum, untuk membuktikan bahwa tindakan upaya paksa yang dilakukan negara benar-benar tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan hak asasi manusia, dan jika yang bersangkutan tidak berhasil membuktikannya maka orang tersebut harus dibebaskan dan mendapatkan kembali kebebasannya.
Kedua, sistem pemeriksaan oleh Hakim Komisaris pada dasarnya bersifat tertutup (internal) dan dilaksanakan secara individual oleh hakim yang bersangkutan terhadap penyidik, penuntut umum, saksi-saksi bahkan juga terdakwa. Sekalipun pemeriksaan itu dilakukan secara objektif dan profesional, namun karena sifatnya yang tertutup maka tidak ada transparansi dan akuntabilitas publik, sebagaimana halnya proses pemeriksaan sidang terbuka dalam forum praperadilan. Akibatnya masyarakat (publik) tidak dapat turut mengawasi dan menilai proses pemeriksaan pengujian serta penilaian hakim terhadap benar tidaknya, atau tepat tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik ataupun jaksa penuntut umum. Dalam kondisi sekarang, syarat transparansi dan akuntabilitas publik ini amat diperlukan, terutama dalam menghadapi korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah melanda bidang peradilan.
Ketiga, pengawasan oleh hakim komisaris dalam sistem peradilan Eropa Kontinental, antara lain Prancis, merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem pengawasan hierarkis, yang dilakukan Hakim (Justitie), terhadap Jaksa (Openbaar Ministrie) dan Kepolisian. Dalam sistem tersebut, hakim mengawasi jaksa, dan selanjutnya jaksa mengawasi polisi sebagai satu kesatuan sistem pengawasan integral yang harmonis dan serasi. Maka apabila konsep Hakim Komisaris ini mau diterapkan, syaratnya ketiga fungsionaris tersebut (Hakim, Jaksa dan Polisi), sekalipun masing-masing merupakan instansi yang berdiri sendiri, namun di dalam bidang peradilan atau proses pemeriksaan perkara dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pemeriksaan dimuka persidangan pengadilan secara fungsional adalah merupakan satu rangkaian hierarki kesatuan fungsi yang berbagi tugas dan wewenang namun saling melengkapi.
Keempat, dalam hal budaya dan kondisi geografis Indonesia, konsep hakim komisaris akan mengakibatkan inefisiensi. Dalam hal kondisi geografis, konsep hakim komisaris akan sangat sulit untuk menjangkau masyarakat yang tersebar diseluruh pelosok Indonesia, termasuk penyidik yang akan kesulitan untuk melakukan upaya koordinasi maupun otorisasi dengan hakim komisaris. Dalam hal budaya, Indonesia memiliki budaya kesetaraan dalam hal keseimbangan kekuasaan badan-badan publik termasuk kesetaraan dalam hal penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Kesetaraan yang mengesampingkan okupasi dan subordinasi salah satu lembaga dan lembaga lainnya. Jika hal ini dipaksakan maka tingkat koordinasi akan menghambat pelaksanaan penegakan hukum. Tentunya hal ini dengan pertimbangan bahwa sistem dari suatu bangsa dan negara tertentu tidak dapat dipaksakan dan pasti tidak cocok dengan bangsa yang memiliki akar budaya dan kondisi geografis yang berbeda.
Dengan melihat output yang telah diberikan oleh KUHAP rancangan bangsa Indonesia yang tentunya mencerminkan budaya bangsa sendiri, maka proses penegakan hukum walaupun belum seratus persen maksimal namun stabilitas nasional dapat terjaga, melalui upaya upaya penting yang dilakukan bangsa Indonesia salah satunya berdasarkan Kuhap. Sehingga dengan memperhatikan efisiensi, hak azasi manusia, dan keadilan serta perabadan baru, budaya, dan geografis Indonesia, maka Kuhap tidak perlu diganti dengan sistem hukum negara asing yang jelas sulit untuk diberdayakan dengan sistem Indonesia. Namun dengan pertimbangan tersebut maka Kuhap perlu di reinforcing dan diamandemen dalam hal memperkuat lembaga pra peradilan, menambah pasal-pasal yang mengatur HAM, khususnya yang menyangkut saksi dan korban, menambah pasal-pasal yang mengakomodir pengembalian kepemilikan atau properti korban, mengamandemen pasal-pasal yang menyangkut otoritas upaya paksa, dan penyidikan khususnya yang menyangkat trans regional, trans nasional dan dihubungkan dengan penggunaan teknologi informasi. Serta menambahkan dan menekankan pasal-pasal yang menyangkut persamaan hak dimuka hukum. Dan menyederhanakan berkas berita acara.
Memperkuat lembaga praperadilan, yaitu dengan menambah pasal-pasal yang mengatur pengujian materiel yang dilakukan lembaga pra peradilan dan tidak sekedar pada pengujian formil. Demikian juga bahwa dalam lembaga pra peradilan harus diatur sangsi yang dapat dikenakan secara adil bagi para penegak hukum atas tindakan hukum yang dilakukan dan terbukti sebaliknya. Hal ini dapat berupa hukuman administratif hingga pidana. Hal ini dilakukan agar penyidik dapat dihindarkan dari perbuatan sewenang-wenang serta masyarakat baik korban, saksi serta tersangka, sehingga dapat terlindungi hak azasinya.
Menambah pasal-pasal yang mengakomodir pengembalian kepemilikan atau properti korban yaitu mengatur tentang penyitaan harta tersangka untuk menjamin dikembalikannya atau meminimalisir kerugian korban tindak pidana. Hal ini untuk mencegah terjadinya persepsi dikalangan penjahat, bahwa melakukan tindak pidana masih menguntungkan dengan hanya menjalani hukuman badan seperti kurungan namun setelah hukuman dilakukan maka pelaku kejahatan masih dapat menikmati hasil kejahatannya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum dengan istilah pasang badan.
Mengamandemen pasal-pasal yang menyangkut otoritas upaya paksa, dan penyidikan khususnya yang menyangkat transregional, transnasional dan dihubungkan dengan penggunaan teknologi informasi. Pasal-pasal tersebut harus mengakomodir tingginya mobilitas kejahatan karena pengaruh teknologi informasi. Contoh adalah bahwa Kuhap lama masih sangat birokratis dan inefisiensi, misalnya dalam hal wawancara untuk mendapatkan berita acara pemeriksaan dari saksi atau korban, Kuhap belum mengakomodir sarana multi media yang ada. Kuhap masih menggunakan model tatap muka langsung. Sehingga mengakibatkan biaya tinggi, waktu yang lama dan lian-lain. Dengan amandemen tersebut maka kecepatan penyidikan dan biaya murah yang merupakan prinsip penegakan hukum dapat dicapai.
Menambahkan dan menekankan pasal-pasal yang menyangkut persamaan hak dimuka hukum, berhubungan dengan mengeliminir model lama yang mewajibkan penyidik untuk memperoleh otoritas politik dalam melakukan penyidikan terhadap pejabat publik. Hal inilah yang merupakan hambatan terhadap penegakan hukum yang berhubungan dengan pejabat publik. Kuhap lama secara tidak langsung telah mengakomodir suburnya korupsi di Indonesia karena lamanya proses penyidikan akibat birokrasi dan otorisasi yang seharusnya hanya dimiliki oleh pengadilan tetapi juga dimiliki oleh pejabat politik yaitu presiden. Dengan pasal-pasal tersebut maka percepatan terhadap pemberantasan korupsi dapat tercapai dan persamaan hak dimuka hukum betul-betul menjadi bagian dari persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara.
Menyederhanakan berkas berita acara. Berkas Acara Pemeriksaan baik terhadap Pelapor, Saksi-saksi maupun Tersangka selama ini seringkali tebal-tebal dan kurang efisien. Karena itu kiranya dapat diatur dan ditentukan hanya yang penting dan memenuhi persyaratan formil saja yang dijadikan berkas. Selain itu perlu diatur format BAP sehingga dapat lebih sederhana dan lebih efektif lagi dalam penyusunan Berkas Perkara.
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter