-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Carding dalam Rational Choice Theory


Oleh: Atang S

Jaman Serba Komputer
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, selain telah memberikan sumbangan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban hidup manusia, juga menjadi sarana yang lebih efektif bagi sebagian orang atau kelompok orang dalam memanfaatkannya untuk melawan hukum atau melakukan kejahatan, sehingga menghasilkan tindakan yang merugikan masyarakat dan telah menghasilkan konsep “Cyber crime”. Cyber crime adalah kejahatan yang memanfaatkan teknologi komputer dan informasi Sedangkan menurut Kepolisian Inggris, cyber crime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau kriminal berteknologi tinggi dengan menggunakan kemudahan teknologi digital. Sedangkan menurut Barua dan Dayal (2001) cyber crime pada dasarnya adalah kejahatan lama (konvensional) tetapi menggunakan teknologi baru.
Kebutuhan dan penggunaan akan teknologi informasi yang diaplikasikan dengan internet dalam segala bidang seperti e-banking, ecommerce, e-government, education dan banyak lagi telah menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan apabila masyarakat terutama yang hidup di kota besar tidak bersentuhan dengan persoalan teknologi informasi dapat dipandang terbelakang atau ”GAPTEK”. Demikian halnya ketertarikan dengan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat tidak terlepas dari hal tersebut.
Sebutan jaman serba komputer memang tidak salah. Mulai dari mengetik dokumen, mencari informasi di internet, melakukan testing simulasi, melakukan pemeriksaan kesehatan, sampai dengan tindakan kriminal, penipuan dan terorisme mau tidak mau juga harus mengandalkan bantuan komputer. Perkembangan ini bagai dua mata pedang tajam, ada sisi baik ada juga sisi buruknya.
Perkembangan komputer ternyata tidak hanya menolong manusia dalam melakukan pekerjaan yang baik-baik saja, juga sangat membantu dalam melakukan berbagai kejahatan baru. Tapi jangan takut karena kejahatan jenis ini juga bisa meninggalkan jejak yang sangat membantu para penyidik cyber crime. Dengan menggunakan bantuan komputer, kejahatan menjadi semakin mudah, cepat, leluasa dan semakin instan untuk dilakukan. Selain menggunakan kecanggihan dan keakuratan komputer dalam mengolah dan memanipulasi data.
Dunia Internet merupakan media yang “nyaman” untuk melakukan kejahatan. Tidak banyak orang yang tahu apa yang sedang terjadi dalam internet, apa dan siapa yang bertransaksi menggunakan internet, para “penduduknya” tidak kasat mata, tidak ada identitas yang jelas bagi penggunanya, belum ada standar hukum dan aturan yang jelas di dalamnya, masih sedikit cyber police yang berpatroli dan segudang ketidakpastian lainnya. Ini menjadikan internet bagaikan hutan belantara yang membuat orang bisa berbuat apa saja di dalamnya.
Kejahatanpun mendapat tempat yang spesial di sini. Mulai dari penipuan sederhana sampai yang sangat merugikan, ancaman terhadap seseorang atau kelompok, penjualan barang-barang ilegal, sampai tindakan terorisme yang menewaskan ribuan orang juga bisa dilakukan menggunakan komputer dan internet. Melihat semakin meningkatnya kejahatan di internet dan dunia komputer, mulai banyak praktisi maupun akademisi melakukan penelitian tentang cyber crime terkait dengan korban, pelaku, modus operandi maupun penanggulangannya.
Cybercrime adalah representasi dari kejahatan internasional yang menggunakan hitech karena ciri dan kejahatan yang paling menonjol adalah borderless atau tidak mengenal batas negara. Teknologi relatif tinggi artinya hanya orang-orang tertentu saja yang sanggup melakukan kejahatan ini serta open resources mediator atau dapat menjadi media untuk berbagai kejahatan antara lain kejahatan di bidang perbankan, pasar modal, seks, pembajakan hak-hak intelektual serta terorisme dan yang lebih tepat lagi termasuk transnational crime.
Dalam era globalisasi sekarang ini, internet sudah digunakan dalam berbagai macam aspek kehidupan, penggunaan internet menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Internet saat ini menjadi dilema karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan pendidikan, kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum (Kejahatan Internet), di mana salah satu di antara kejahatan dalam dunia internet adalah membelanjakan kartu kredit milik orang lain untuk digunakan sebagai alat pembayaran ketika berbelanja lewat internet atau biasa disebut cyber fraud (penipuan kartu kredit).
Perdagangan secara elektronik yang makin marak dewasa ini selain memberikan peluang dan berbagai kemudahan di satu sisi, ternyata memberikan dampak negative di sisi lain. Dampak negatif yang mungkin terjadi antara lain berupa kerugian yang dialami oleh konsumen yang melakukan transaksi. Kerugian konsumen secara garis besar dapat dibagi dua; pertama, kerugian yang diakibatkan oleh pelaku penjual yang memang secara tidak bertanggung jawab merugikan konsumen dan kedua, kerugian konsumen yang terjadi karena tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga sehingga konsumen disesatkan dan kemudian dirugikan. Tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut antara lain berupa penggunaan nomor kartu kredit milik orang lain secara illegal untuk memesan sejumlah barang melalui media internet yang dikenal dengan istilah carding dan pelakunya disebut dengan carder.
Adanya kecenderungan global yang terjadi saat ini, di mana kegiatan perekonomian semakin mengandalkan teknologi informasi dan meningkatkan pengguna internet, apabila dikaitkan dengan ungkapan kejahatan maka dengan sendirinya penyalahgunaan teknologi informasi mungkin akan semakin meningkat karena kemungkinan pelakunya yang mahir komputer untuk mengakses dan meniru data semakin banyak dan kejahatan ini dapat dilakukan di mana, kapan dan oleh siapa saja. Carding dapat dilakukan di mana, kapan dan oleh siapa saja dengan sasaran global asalkan ada komputer yang tersambung dengan internet. Kemampuan global jaringan internet dalam menembus batasan ruang dan waktu serta meningkatnya penggunaan internet di seluruh dunia, merupakan faktor kriminogen yang potensial bagi terjadinya kejahatan dalam perdagangan secara elektronik, khususnya carding.
Menyadari bahwa setiap orang di seluruh dunia mempunyai kemampuan dan pengetahuan komputer yang berpotensi untuk melakukan penyalahgunaan teknologi informasi khususnya carding dalam dunia cyber yang tanpa batas, maka perdagangan secara elektronik atau electronic commerce (e-commerce) harus juga disertai dengan sikap kewaspadaan yang semakin meningkat terhadap dampak negatifnya, dalam arti setiap penomena yang terjadi dalam e-commerce harus dicermati pula oleh pemerintah Indonesia yang juga terakses dalam jaringan teknologi informasi global.
Teknologi menjadi sangat penting mengingat pendekatan teknologi pada hakekatnya merupakan langkah preventif terhadap upaya-upaya penyalahgunaan teknologi yang bersangkutan, di mana hal itu belum tentu dapat diselesaikan melalui pendekatan hukum. Kemudian pada kesempatan lain, pendekatan hukum dapat dijadikan sebagai langkah preventif dan represif apabila ada pelanggaran-pelanggaran dalam penggunaan teknologi informasi.
Kepentingan polisi dalam kedudukannya sebagai penyidik tindak pidana menggambarkan bahwa penegak hukum dalam konteks Criminal Justice System, merupakan pintu utama dari aparat penegak hukum lainnya. Proses penegakkan hukum yang benar akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap masyarakat. Berdasarkan kewenangannya polisi diperbolehkan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan pelanggaran hukum pidana atau melakukan kejahatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan polisi dalam menegakkan hukum terhadap kasus cyber crime pun memiliki posisi yang sangat penting terkait dengan perannya yang berhubungan langsung dengan masyarakat maupun pelanggar hukum. Orang yang telah melakukan kejahatan tidak akan dengan sendirinya menyerahkan diri untuk diproses melalui sistem peradilan yang ada. Karena itu, harus ada suatu badan publik yang memulainya, dan itu pertama-tama dilakukan oleh polisi dengan melakukan penahanan dan penyidikan.
Kepolisian merupakan salah satu lembaga dalam sistem peradilan pidana yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap peristiwa kejahatan. Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), ”Penyidikan adalah serangklaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Hal ini sama dengan yang dijelaskan dalam pasal 1 butir 13 Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Karena itu peran kepolisian sebagai penyidik tindak pidana, sangat berperan dalam melakukan penindakan terhadap tindak pidana carding.

Carding sebagai perbuatan melawan hukum.
Crime is a product of society itself (kejahatan merupakan hasil dari masyarakatnya sendiri) merupakan ungkapan yang tepat bagi penomena carding sebagai kejahatan yang lahir akibat maraknya transaksi online dan kemajuan teknologi informasi dengan menggunakan kartu kredit sebagai sarana untuk melakukan pembayarannya. Carding merupakan salah satu bentuk internet fraud, yaitu tindakan tidak jujur atau penipuan dengan menggunakan internet atau teknologi yang langsung mendukung internet. Fraud yang dimaksud dalam carding adalah berupa penggunaan nomor kartu kredit yang diperoleh secara tidak syah untuk memesan sejumlah barang atau transaksi secara on-line.
Setelah meneliti Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus carding, diperoleh informasi bahwa tujuan pelaku carding yaitu adanya ketertarikan akibat aktivitas mereka yang sering melakukan kontak di dunia maya dan berkenalan dengan istilah carding. Rasa ingin tahu tentang carding akhirnya mengantarkan para pelaku untuk mencoba carding dengan pengetahuan yang mereka dapatkan dari tutorial carding yang terdapat di internet.
Kesempatan mencoba memang sangat terbuka luas tanpa ada rasa takut sedikitpun karena tindakan yang dilakukan masih terbatas di depan layar komputer dan terjadi di dunia maya tanpa mengenal identitas yang sebenarnya. Kegiatan mereka pada awalnya lebih ditujukan untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka. Ketika gagal, para pelaku tertantang untuk mengasah kemampuannya untuk mencoba dan mencoba lagi. Namun setelah berhasil, mereka menjadi semakin menggebu terlebih ketika mereka mampu mengambil barang hasil carding. Selanjutnya melihat keuntungan finansial yang diperoleh dari hasil “asah otak” yang memerlukan keahlian tertentu telah menciptakan kebanggaan tersendiri sebagai seorang yang mampu memecahkan masalah yang orang lain belum tentu bisa.
Dalam perkembangan selanjutnya didukung oleh jaringan atau jasa kurir yang membantu pengambilan barang serta adanya persepsi untuk lebih menguntungkan berbuat carding dari pada tidak, mereka menjadikan kegiatan tersebut untuk mendapatkan barang secara gratis. Para carder memanfaatkan carding untuk memuaskan hobinya dengan memesan dan memperoleh barang. Selain itu juga, para carder melakukan aksinya untuk mencari uang terutama bagi mereka yang memiliki akses menjual barang hasil carding.
Hal yang mendorong para carder melakukan carding adalah keinginan meniru kesuksesan carder lain yang sering membobol kartu kredit dan tidak tertangkap aparat kepolisian. Selain itu juga adanya anggapan bahwa tindakan yang dilakukan bukanlah kejahatan yang serius, karena belum diatur dalam undang-undang di Indonesia.
Berpijak pada hal tersebut di atas, dan diperkuat dengan para carder yang telah menjadikan aktivitas tersebut sebagai hal yang menguntungkan dan dilakukan secara berulang-ulang untuk memuaskan kebutuhan pribadi. Maka memang benar bahwa pelaku carding melakukan akivitasnya untuk menguji kemampuan dan mencari keuntungan baik untuk diri sendiri maupun orang lain dengan melawan hak dan melawan hukum.
Perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak dan melawan hukum, dilakukan oleh para carder dengan tidak adanya ijin dari pihak yang membolehkan untuk menggunakan kartu kredit milik orang lain. Para carder telah menggunakan nomor kartu kredit milik orang lain untuk membeli barang-barang melalui internet tanpa adanya ijin dari pemilik kartu kredit yang digunakan oleh para carder dan dapat memiliki barang yang telah dikirim oleh pemilik toko sesuai pesanan melalui internet.


Carding dan Modus Opreandi.
Dalam kamus Besar Ilmu pengetahuan, motif diartikan sebagai dorongan sadar untuk bertindak sesuai dengan tujuan atau maksud tertentu unntuk melakukan kejahatan, sedangkan modus operandi diartikan sebagai cara atau metode kerja yang dipakai untuk melakukan tindakan kejahatan. Adapun modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku carding, sebagai berikut:
1. Mencari data kartu kredit.
Para carder memperoleh nomor kartu kredit melalui chating di sebuah saluran dengan para carder yang pada saat itu menyediakan ratusan nomor kartu kredit dan sebagai sasaran saling tukar informasi sesama carder. Setelah itu para carder membuka sebuah program yang dapat mengacak sejumlah angka untuk melipatgandakan nomor kartu kredit.

2. Mencari Website Komersil / Merchant On-Line.
Setelah mendapat nomor kartu kredit yang valid, tersangka membuka website lelang on line dan melakukan registrasi. Apabila register ini diterima maka website lelang on line tersebut akan memasukkan email para carder secara otomatis sebagai identitas baru anggota pelelangan. Identitas dan alamat e-mail ini digunakan untuk melakukan korespondensi atau tempat transaksi dengan penjual perorangan dalam komunitas lelang on-line.

3. Melakukan Transaksi di Website Komersil.
Setelah menjadi anggota website lelang on line, para carder tinggal mencari dan memilih barang yang diiklankan dalam layar monitor situs tersebut. Setelah kolom pemesanan di klik, secara otomatis tersangka akan dihubungi oleh penjual dan selanjutnya melakukan korespondensi melalui e-mail untuk mencapai kesepakatan jual beli barang. Setelah deal, baru memberikan nomor kartu kredit dan alamat pengiriman. Dalam kasus ini proses untuk membayar / jual beli dapat memakan waktu dan belum tentu ada kesepakatan.

4. Mengambil Paket.
Untuk melancarkan pengambilan barang, para carder membuat KTP palsu dengan standar seolah fotocopy KTP asli dengan cara search engine pada sebuah mesin pencari di internet untuk mendapatkan format tampilan KTP tampak depan dan belakang, lalu mengisi firmat tersebut dengan data fiktif dan menempatkan pas photo 2x3 dengan photo yang ada di internet, kemudian diprint, ditandatangani dan hasilnya difotocopy dan diperbanyak untuk syarat administrasi pengambilan paket pada perusahaan jasa angkutan.

5. Menjual Hasil Carding.
Sebagian barang hasil carding dipakai untuk kepuasan pribadi dan sebagian lagi dijual melalui iklan koran atau secara hand to hand dengan mendatangi sendiri toko untuk menawarkan barang. Hasil penjualan dipakai untuk keperluan sehari-hari dan untuk berfoya-foya.

Rational Choice Theory.
Rational Choice Theory (Teori Pilihan Rasional) mengandung arti bahwa pelaku kejahatan mempertimbangkan secara rasional dalam menentukan pilihan perilaku yang kriminal dan non-kriminal. Berdasarkan pendekatan pilihan rasional ini, tingkah laku melanggar hukum terjadi ketika pelaku kejahatan memutuskan untuk menempuh resilo atas pelanggarannya setelah mempertimbangkan faktor pribadi antara lain kebutuhan akan uang, balas dendam, godaan dan hiburan serta faktor situasi sejauh mana target yang dilindungi dan efisiensi kekuatan polisi lokal. Dallam hal ini keputusan untuk melakukan suatu kejahatan dipengaruhi oleh pilihan-pilihan yaitu :
1. Choosing The Place Of Crime: Pelaku kejahatan seringkali memilih tempat di mana mereka akan melakukan kejahatan.
2. Choosing Target: Bukti pilihan rasional dapat ditemukan dalam cara seorang pelaku kejahatan menentukan targetnya.
3. Learning Criminal Techniques: Pelaku kejahatan mempelajari teknik-teknik kejahatan untuk membantu menghindari dari penangkapan.
Menurut David Icove, secara umum penyalahgunaan komputer dapat dibagi dua kategori, yaitu berdasarkan motivasi pelaku yaitu mencari keuntungan, balas dendam atau uji kemampuan, dan berdasarkan cara melakukannya dengan merusak data, mencuri data atau membajak piranti lunak.
Carding merupakan dampak negatif adanya kegiatan e-commerce. Kejahatan ini menggunakan media internet sebagai alat untuk mengambil data kartu kredit tanpa seijin pemiliknya dan mengontak merchant on-line untuk memesan sejumlah barang yang dibayar dengan menggunakan kartu kredit orang lain. Dalam aksinya, pelaku bertindak seolah pemilik kartu kredit yang sah dan memberikan keterangan palsu guna mengelabui korbannya agar mau mengirim barang yang dipesan. Selanjutnya pelaku mempersiapkan diri dengan identitas palsu dan memanfaatkan jasa kurir atau oknum ekspedisi untuk mengambil barang sekaligus menghindari pelacakan dan penangkapan polisi.
Rangkaian kegiatan ini didahului dengan rasa ingin tahu untuk mencoba carding, ketika gagal, pelaku akan penasaran, namun setelah berhasil, pelaku akan mengulangi lagi perbuatannya. Hal tersebut disebabkan karena adanya faktor pribadi dan situasi yang mempengaruhinya. Faktor pribadi, pelaku merasa ”jago” dan bisa mendapatkan barang secara gratis karena ”akalnya” dan menjadi ketagihan karena perbuatan tersebut menguntungkan secara financial. Faktor situasi, kesempatan melakukan carding terbuka luas di depan layar komputer tanpa resiko ketahuan, karena terjadi di dunia maya dan menggunakan warnet yang setiap saat bisa ditinggalkan tanpa meninggalkan jejak dan identitas. Selanjutnya didukung dengan cara-cara mengambil barang dan menghindar dari penangkapan polisi serta evaluasi akhir terhadap situasi yang menyatakan ”aman”, carding merupakan pilihan yang menyenangkan
Pada akhirnya Rational Choice Theory, merupakan pilihan untuk berbuat carding yang ditentukan oleh penalaran seseorang terhadap adanya kebutuhan pribadi dan situasi yang mendukung untuk memperoleh kebutuhan tersebut melalui tindakan kriminal. Setelah mempelajari karir kriminal para carder didapati bahwa carding adalah bersifat ”iseng” untuk mengasah kemampuan. Ketika gagal menjadi penasaran, namun setelah berhasil menjadi ketagihan. Selanjutnya dengan keberhasilan dan dukungan teknik serta jaringan pengambilan barang, para carder mengulangi lagi perbuatannya. Fakta tersebut menunjukkan bahwa belajar dari pengalaman merupakan elemen penting dalam menyusun pilihan.
Tindakan illegal merupakan pilihan secara rasional yang dibuat setelah mempertimbangkan keuntungan dan konsekuensi dari suatu tindakan kriminal atau melawan hukum. Ketika para carder mempertimbangkan untuk mengulangi lagi perbuatannya, hal ini didasari keuntungan yang akan diperoleh lebih besar daripada resiko tertangkap. Berdasarkan pada pendekatan pilihan rasional, keputusan para carder untuk melakukan kejahatan tanpa melihat substansinya terstruktur pilihan sebagai berikut :
1. Choosing The Place of Crime (Memilih Tempat Kejadian).
Pelaku kejahatan seringkali memilih tempat yang aman untuk melakukan kejahatan. Semua pelaku carding memilih warnet sebagai sarana dan tempat yang paling aman untuk melakukan kejahatan karena anonimitas. Selain murah, warnet juga sulit dilacak oleh penyidik karena banyak sekali orang yang menggunakan internet (sebagai sarana umum) pada saat yang bersamaan tanpa tercatat identitas peribadi pengguna / pelanggan. Dan dalam hal ini identitas yang dapat dilacak adalah identitas warnet bukan identitas pelaku kejahatannya itu sendiri.

2. Choosing Target (Memilih Target).
Bukti pilihan rasional dapat ditemukan dalam cara pelaku kejahatan menentukan target kejahatannya. Target awal dari pelaku kejahatan carding adalah mencari nomor kartu kredit yang dapat digunakan terutama yang valid dan bonavid Pemilihan ini dilakukan agar pemilik merchan tidak ragu terhadap nilai kepercayaan sebuah kartu kredit. Target yang dipilih para carder adalah jenis master card dan visa card karena memiliki limit nilai uang yang besar untuk dibelanjakan. Setiap nomor yang didapat dari hasil chatting atau program card generator sebelum dicoba dalam transaksi, diseleksi lagi bonafiditasnya dengan menggunakan program tertentu untuk mengetahui bank penerbit sekaligus asal pemilik kartu dari enam digit nomor pertama kartu kredit yang disebut BIN (Bank Identification Number).
Target berikutnya adalah mencari korban merchan yang mau menerima kartu tersebut dengan cara mencoba satu persatu. Adapun merchan yang dipilih adalah toko-toko on-line yang ada di luar negeri. Didapati bahwa target selektif adalah terhadap merchan yang ada di Amerika yang menjadi korban carding.

3. Learning Criminal Techniques (Mempelajari Tehnik Kriminal).
Pelaku kejahatan menyatakan bahwa belajar teknik kejahatan menolong mereka untuk menghindari penangkapan para petugas penegak hukum. Adapun teknik yang digunakan para pelaku kejahatan carding dalam menghindari kejaran para penegak hukum adalah :
a. Lebih selektif mencoba nomor kartu kredit yang akan digunakan dan dibelanjakan dengan terlebih dahulu mengecek validitas dan bonafiditas kartu dengan menggunakan program tertentu, sebab kegagalan akan menyebabkan selain transaksi ditolak dikhawatirkan nomor IP Address pada internet akan segera terlacak.
b. Menyamarkan identitas pelaku dengan mencetak KTP palsu atau membuat copy KTP palsu.
c. Membina jaringan dengan menempatkan seorang kurir atau oknum jasa ekspedisi swasta selain sebagai informan kedatangan barang juga sebagai orang yang bertugas mengambil barang hasil carding.
d. Membina jaringan penjualan atau penadah hasil carding.

Upaya Penanganan Carding
Pada akhirnya, dengan adanya kejahatan yang semakin canggih dan sulit dilacak, memerlukan penanganan secara khusus, hukum tidak akan bisa tegak dengan sendirinya tanpa adanya aparat penegak hukum seperti polisi yang bisa dan optimal menjembataninya, sehingga tugas polisi semakin berat. Untuk itu, polisi mau tidak mau harus menguasai dunia perangkat lunak ini. Cyber crime harus ditangani oleh cyber police. Cyber police merupakan polisi yang dilatih dan dibekali untuk menangani kasus segala tindak kriminal yang berkaitan dengan cyberspace. Cyber police berinteraksi secara aktif seperti, menggunakan internet untuk mencari informasi, mengadakan kontak dan diskusi, maupun memberikan pelayanan informasi masyarakat.
Kepentingan polisi dalam kedudukannya sebagai penyidik tindak pidana menggambarkan bahwa penegak hukum dalam konteks Criminal Justice System, polisi merupakan garda terdepan sebagai pintu gerbang utama dari aparat penegak hukum lainnya. Sebagai pintu utama dalam mengejawantahkan aturan-aturan hukum yang berisi huruf-huruf mati sangat menentukan proses penegakkan hukum selanjutnya menjadi hukum yang hidup untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap masyarakat. Karena itu kedudukan polisi dalam Criminal Justice System merupakan ujung tombak proses peradilan tindak pidana. Selain itu kedudukan polisi merupakan ujung tombak perubahan sosial. Hukum merupakan sarana penting dalam rekayasa sosial, yang berarti bahwa setiap aturan hukum yang bertujuan memberi kepastian hukum dan keadilan dalam rangka penegakkan hukum. Polisi merupakan salah satu pilar yang penting, karena badan tersebut mempunyai peranan sangat penting dalam mewujudkan janji-janji hukum menjadi kenyataan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan polisi dalam menegakkan hukum memiliki posisi yang sangat penting terkait dengan perannya yang berhubungan langsung dengan masyarakat maupun pelanggar hukum (penjahat). Pasal-pasal dalam hukum pidana hanya akan menjadi kenyataan, apabila ada badan yang melakukan mobilisasi hukum pidana itu. Orang yang telah melakukan kejahatan tidak akan dengan sendirinya menyerahkan dirinya untuk diproses melalui sistem peradilan pidana yang ada. Karena itu, harus ada suatu badan publik yang memulainya, dan itu pertama-tama dilakukan oleh polisi dengan melakukan penangkapan, penahanan dan penyidikan. Lembaga kepolisian merupakan lembaga pertama dalam sistem peradilan pidana yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap peristiwa kejahatan. Berdasarkan kewenangannya polisi diperbolehkan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan tindakan kejahatan.
Upaya penanganan carding membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Keberadaan undang-undang yang mengatur cybercrime memang diperlukan, akan tetapi apalah arti undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan masyarakat yang menjadi sasaran dari undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya tujuan pembentukan hukum tersebut, termasuk pengambil kebijakan di dalam institusi penegak hukum (polisi) itu sendiri.
Kini, undang-undang yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik sudah disyahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tinggal penegak hukum bagaimana menerapkan dan menjerat para carder, yang memang tidak mudah untuk menangkap dan menjeratnya. Karena cyber crime merupakan suatu kejahatan maya dengan kerugian nyata. Hukuman yang berat dan denda yang besar tidak akan membuat jera para carder jika tidak ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum.


Bahan Bacaan.

Abdul Wahid dan Mohammad Labib: Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Bandung: PT Refika Aditama, 2005.
Albert Barita Marulam Sihombing: Kejahatan Kartu Kredit Melalui Internet. Tesis Program Pascasarjana Kriminologi Fisip UI. Depok, 2004.
http://pangeranhati.wordpress.com/2008/03/24/apa-dan-bagaimana-carding/
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 18, Maret 2002.
Larry J. Siegel. Criminology, Seventh Edition. USA: Wadsworth/Thomson Learning Inc. 2000.
Muhammad Mustofa: Kriminologi; Kajian Sosiologi terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. UI Depok: Fisip UI Press, 2007.
Petrus Golose: Perkembangan Cyber Crime dan Upaya Penanganannya di Indonesia Oleh Polri. Buletin Hukum Perbankan dan Kebaksentralan. Volume 4, Agustus 2006.
Save M Dagun: Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta. Lembaga Pengkajian Budaya Nusantara. 2000.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 81 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1.
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

2 comments

Subscribe Our Newsletter