-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Rasionalitas Bom Bunuh Diri


Atang S

Motif Bom Bunuh Diri
Wacana mengenai aksi terror bom bunuh diri sudah berlangsung sejak lama, namun sangat sulit untuk mengetahui kapan aksi terror bom bunuh diri tersebut mulai dilakukan. Mungkin, aksi bom bunuh diri ini sesuai dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri dan terus berkembang semakin kompleks sesuai dengan kemajuan peradaban dan teknologi manusia.
Aksi terror bom yang berpolakan aksi bunuh diri telah bermunculan di mana-mana dengan berbagai alasan. Aksi terror dengan bom bunuh diri secara potensial terdapat di beberapa lapisan masyarakat di dunia. Aksi bom bunuh diri tersebut tergantung pada kerawanan kondisi social, politik dan ekonomi. Kehidupan social dan politik yang timpang akan menimbulkan frustasi dan keputusasaan yang mendorong orang menjadi agresif dan melakukan terror bom bunuh diri. Namun tidak jarang pula tindakan aksi bom bunuh diri dilakukan oleh kaum militant yang bersifat religius dan dapat timbul pada setiap agama manapun tanpa kecuali.
Aksi terror bom bunuh diri juga marak di Indonesia, beberapa waktu lalu. Berbagai aksi pengeboman maupun aksi bom bunuh diri telah menjadi fenomena yang selalu muncul beberapa tahun terakhir. Peristiwa peledakan bom tersebut antara lain mulai dari peledakan bom di Bursa Efek Jakarta, Bom Bali I dan Bom Bali 2, Bom Kedutaan Australia, Bom JW Marriot I hingga Bom JW Marriot dan Ritz Carlton. Dari berbagai peristiwa peledakan bom tersebut terungkap adanya aksi bom bunuh diri dengan berdalih jihad, mereka beranggapan dengan melakukan bom bunuh diri tersebut akan mendapatkan tempat mulia di surge. Hal tersebut sebagaimana terdapat pada pernyataan dan pesan salah satu pelaku bom bunuh diri pada peristiwa Bom Bali 2 yang dilakukan oleh Mochamad Salik Firdaus yang mengatakan: “…, Insya Alloh ketika dirimu melihat ini, saya sudah berada di dalam jannah (surga) …” (Bambang Abimanyu, Terror Bom, Hal 29). Dengan berdalih pada ayat kitab suci, kelompok tersebut melakukan indoktrinasi terhadap anggotanya sehingga mau melakukan perbuatan nekad yang sebetulnya justru dilarang oleh agama manapun. Para pelaku menyampaikan pesan bahwa serangan bom bunuh diri yang dilakukan itu sebagai jihad dengan surge jaminannya.
Selain adanya keputusasaan dalam bidang social, politik dan ekonomi serta adanya dominasi dalam percaturan politik dunia dapat mendorong orang atau sekelompok orang menjadi teroris dalam kemarahannya. Selain itu adanya taraf pendidikan yang rendah sera kemiskinan yang tinggi menjadi lading garapan yang mudah bagi orang atau sekelompok orang untuk menanam ideology, keyakinan bahkan mimpi-mimpi. Aksi-aksi teroris dengan cara bom bunuh diri masih dianggap oleh orang atau kelompok-kelompok tertentu sebagai jalan yang efektif untuk mencapai tujuan dan menganggap bahwa tingkah laku tersebut mencerminkan adanya nilai yang lebih besar dan diagungkan. Pada umumnya aksi terrorisme dengan jalan bom bunuh diri dalam dunia politik cenderung dilakukan dalam upaya untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Aksi terror bom bunuh diri yang selama ini terjadi di Indonesia ditujukan kepada fasilitas-fasilitas Negara Amerika Serikat dan sekutunya atau tempat-tempat keramaian dimana terdapat banyak orang Amerika Serikat atau sekutunya. Hal tersebut dilakukan karena para pelaku teroris menganggap bahwa hegemoni politik dan ekonomi Amerika Serikat telah menimbulkan masalah politik, ekonomi dan pertahanan secara global. Bangsa Amerika Serikat menganggap bahwa nwgara dan bangsanya adalah polisi dunia yang berhak mengatur dunia, baik aspek ekonomi, politik maupun pertahanan dan keamanan dunia. Kuatnya pengaruh Amerika Serikat dalam percaturan politik dan ekonomi dunia pada satu sisi ada kelompok orang yang merasa dirugikan dan dikucilkan.

“Rasionalitas Nilai” Max Weber.
Bagi pelaku bom bunuh diri, mungkin beranggapan bahwa aksi yang dilakukannya merupakan kewajiban moral yang harus dibayar tanpa melihat resiko mengenai aksi yang dilakukannya membawa korban akan dirinya dan orang lain yang tidak berdosa. Bagi mereka melakukan aksi bom bunuh diri tersebut, nyawa mereka bukanlah sesuatu yang berharga tetapi prinsip moralitas, solidaritas dan integrasi yang berlebihan sehingga membawa alur pikiran mereka melakukan aksi penyimpangan tersebut. Pengorbanan yang merke lakukan tidaklah merupakan suatu perbuatan sia-sia, biarpun mata dunia mengutuk, membenci dan menghina perbuatan mereka. Alas an mereka yang melakukan aksi terror bom bunuh diri tersebut juga rasional, biarpun orang-orang marah, mengutuk, marah, menghina dan membenci, diapun tidak mendengar, melihat dan merasakan.
Dalam kaitannya dengan hal tersbut Max Weber memperkenalkan Konsep Raionalitas, dengan empat rasionalitas, antara lain:
a. Tradisional; Suatu tingkah laku yang berdasarkan pada kebiasaan atau tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun. Tingkah laku itu karena kebiasaan yang dilakukan tanpa perencanaan. Apabila kelompok atau seluruh masyarakat didominasi oleh orientasi ini maka kebiasaan dan institusi mereka mendapat legitimasi atas dasar tradisi yang sudah mapan.
b. Afektual; Suatu tingkah laku yang disebabkan oleh pengaruh dari orang yang dihormati / kharismatik yang bersifat missal sehingga bertingkah laku sesuai dengan arahannya.
c. Religius; Suatu tingkah laku sesuai dengan ajaran atau perintah agama.
d. Nilai/Value; Suatu tingkah laku yang menganggap tingkah laku tersebut mencerminkan adanya nilai besar atau nilai yang diagungkan.
Menurut Weber bahwa setiap perilaku yang rasional diarahkan kepada tercapainya tujuan. Baik tujuan itu sendiri maupun segala tindakan yang diambil dalam rangka tujuan tersebut serta akibat-akibatnya yang akan timbul dipertimbangkan secara rasional. Setiap tingkah laku orang yang dengan tidak menghitung pengorbanan bagi mereka sendiri, bertindak sesuai dengan apa yang mereka yakini merupakan kewajiban, kehormatan, panggilan religious atau hal-hal yang mereka anggap penting.
Oleh karena itu pelaku terror dengan melakukan bom bunuh diri tersebut sesuai dengan konsep rasionalitas nilai / value yang dikemukakan oleh Max Weber karena perbuatan tersebut ditempuh sebagai jalan yang efektif dalam mencapai tujuan yang dianggap sebagai pencerminan dari adanya nilai yang besar dan diagungkan oleh mereka. Perilaku tersebut bersifat rasional, sebab si pelaku bom bunuh diri mau menanggung segala resiko yang berkaitan dengan keyakinannya. Namun dari segi yang lain perilaku tersebut juga menjadi tidak rasional. Mungkin pelaku bom bunuh diri tersebut hanya memikirkan satu nilai saja dengan tidak mempertimbangkan nilai-nilai lainnya. Atau mereka tidak berfikir apakah langah-langkah yang diambilnya tidak tepat atau tidak. Fanatisme seringkali membuat orang tidak memperhitungkan akibatnya baik bagi keluarga, Negara maupun dirinya sendiri.
Kelompok pelaku bom bunuh diri ini sering menjadikan fundamentalis agama sebagai pembenar ata kegiatan teroisme dan berani mati sebagai tindakan mulia. Mereka juga terindoktrinasi oleh adanya gagasan untuk menempuh jalan pintas dalam melawan modernisasi dan peradaban dengan kekerasan. Menafsirkan kitab suci sesuai dengan keinginan kelompok dan kepentingannya sebagai pembelaan dalam menjalankan misi mengacaukan situasi keamanan dan merusak tatanan social.
Berawal dari keadaan masyarakat yang terus menerus dilanda terror sehingga menimbulkan keresahan, masyarakat menuntut pemerintah membuat undang-undang untuk mencegah timbulnya aksi-aksi terror bom bunuh diri berikutnya. Dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, para pelaku bom bunuh diri tersebut telah menjadi musuh kemanusiaan, kebangsaan dan kenegaraan. Karena itu aksi bom bunuh diri tersebut telah menjadi musuh bersama. Untuk menciptakan tatanan social yang tertib, maka sebagai bentuk upaya dalam memerangi tindakan terorisme, maka pemerintah Indonesia membuat undang-undang yang khusus membahas masalah tindak pidana terorisme melalui Peratura Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kemudian melalui Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 ditetapkan sebagai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 ditetapkan sebagai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi payung hukum dalam menjerat para pelaku terorisme setelah dicabutnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi. Hukuman dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mulai dari 3 tahun, 15 tahun, hukuman seumur hidup hingga hukuman mati. Beberapa pelaku terror bom telah ditangkap dan dihukum sesuai dengan ketentuan yang beraku, ada yang divonis dengan hukuman mati bahkan ada yang sudah dieksekusi mati.
Pemberantasan tindak pidana terorisme bukan semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakkan hukum melainkan juga masalah social, budaya, ekonomi yang berkaitan dengan ketertiban masyarakat. Sehingga hal tersebut memerlukan penanggulangan dan penanganan yang hati-hati untuk memelihara keseimbangan dalam melindungi kedaulatan Negara. Dengan keseriusan pemerintah melalui upaya Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam upaya pemberantasan terorisme di Indonesia diharapkan dapat memulihkan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat. Semoga.
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

1 comment

Anonymous said…
bang atang, ada komentar2 gak mengenai pelaksanaan uu no 22-2009 tentang llaj.
Subscribe Our Newsletter