-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Kemitraan Polri dan Masyarakat

KEMITRAAN POLRI DAN MASYARAKAT
DALAM IMPLEMENTASI POLMAS GUNA MEWUJUDKAN
POLRI YANG PROFESIONAL, TEGAS DAN HUMANIS

1. Pendahuluan.
Amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia secara jelas menyebutkan bahwa peran
utama polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Karena itu peran serta polisi dalam meningkatkan kualitas hidup
masyarakat yaitu dengan memberikan pelayanan keamanan dan
menciptakan rasa aman bagi warga masyarakat, sehingga mereka dapat
melaksanakan aktifitas kehidupannya untuk mampu menghasilkan suatu
produksi, serta untuk hidup sejahtera. Dalam konteks ini polisi tidak
melakukan tindakan yang anti produktifitas, seperti melakukan pungutan
liar, menerima suap atau menjadi backing dalam berbagai kegiatan yang
ilegal. Sehingga tidak memperburuk bahkan merusak citra polisi dan
yang lebih penting yaitu dengan keberadaan polisi haruslah fungsional
dalam masyarakat, polisi dibutuhkan dan diharapkan mendapatkan
dukungan dari warga masyarakat.
Pada saat ini Polri telah mengadopsi sebuah falsafah baru dalam
kepolisian yaitu community policing sebagai model pemolisian baru
melalui Polmas yang mendekatkan polisi kepada masyarakat yang
dilayaninya.1 Hal tersebut tentunya akan membawa konsekuensi besar
bagi polisi yaitu harus adanya perubahan perilaku dan tindakan-tindakan
petugas kepolisian baik tingkat manajemen maupun tingkat operasional.
Perubahan yang mendasar dari falsafah tersebut harus diawali dari
adanya kecintaan dari anggota polisi akan tugas dan tanggung jawabnya.
Gaya pemolisian sebagai suatu tindakan atau aktivitas kepolisian
dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi dalam
1 Rahardjo, Satjipto: Tentang Community Policing di Indonesia dalam Bunga Rampai
Ilmu Kepolisian Indonesia, Editor Parsudi Suparlan. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu
Kepolisian. Jakarta. 2004. Hal. 85.
3
masyarakat yang berkaitan dengan pencegahan terjadinya tindak
kejahatan dan upaya menciptakan kemananan dan ketertiban.2 Tugas
dan tanggung jawab apapun yang diberikan atau yang dipercayakan
kepadanya harus menjadi suatu amanah dan harus dicintai dan ada rasa
kebanggaan. Hal tersebut perlu diawali sejak adanya deskripsi dan
analisa kerja yang jelas dan tertulis yang dibuat secara berjenjang dari
tingkat yang terendah sampai tingkat yang tertinggi, secara terinci
sebagai penjabaran tugas. Adanya standarisasi keberhasilan tugas yang
bervariasi antara satu tempat tugas dengan yang lainya. Untuk
mengetahui keberhasilan dalam melaksanakan tugas perlu adanya
penilaian kinerja yang obyektif, konsisten dan konsekuen.
Tentu bagi anggota polisi yang bekerja dengan baik atau yang
berprestasi harus diberikan penghargaan, demikian juga halnya yang
tidak berprestasi atau yang melanggar ketentuan atau kode etik harus
ada sanksi atau hukuman sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang
berlaku pula. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam sistem
reward and punishment. Dan tentunya setiap pekerjaan dalam masingmasing
bagian atau satuan kerja mempunyai etika kerja sebagai bentuk
pertanggungjawaban baik internal maupun eksternal yaitu kepada
masyarakat, yang bervariasi dan dibuat secara berjenjang dari tingkat
bawah sampai tingkat atas. Hal itu juga mencakup hal-hal yang harus
dilakukan, hal-hal yang tidak boleh dilakukan, produk-produk yang harus
dihasilkan serta sanksinya bila melakukan pelanggaran hukum maupun
ketentuan yang berlaku.
Perubahan perilaku bagi petugas kepolisian hendaklah dapat
mengikrarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan,
keselamatan, keamanan, pendidikan, tentu ini bukan sekedar slogan
atau jargon-jargon gombal yang tidak pernah ada ujung pangkalnya.
Bagian yang terpenting adalah keberadaan polisi benar-benar dapat
dirasakan aman bagi masyarakat. Keberadaan polisi memberikan
2 Dwilaksana, Chrysnanda: Perpolisian Komuniti (Community Policing) Dalam
Menciptakan Keamanan dan Ketertiban, dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia,
Editor Parsudi Suparlan. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Jakarta. 2004. Hal.
95.
4
keamanan bagi masyarakat atau masyarakat merasa aman, terlindungi.
Bukan sebaliknya keberadaan polisi membuat masyarakat menjadi
ketakutan.
Dengan keberadaan polisi harus menyenangkan bagi masyarakat
sekitarnya. Polisi yang ramah, sopan, santun dalam berkomunikasi dan
mampu memanusiakan manusia lainya. Meskipun harus bertindak tegas
dalam melakukan upaya paksa tetapi harus tetap memberikan jaminan
dan dan kepastian hukum serta perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Tentu polisi mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan
Tuhan yang paling mulia.
Keberadaan polisi harus bermanfaat bagi masyarakat. Keberadaan
polisi harus mampu memberikan petunjuk bagi warga masyarakat yang
tidak tahu, memberikan perlindungan bagi warga masyarakat yang
merasa ketakutan, memberikan pelayanan bagi warga masyarakat yang
membutuhkan pelayanan kepolisian, dan keberadaanya pun dapat
dirasakan ada manfaatnya dalam mendukung tumbuh dan
berkembangnya kualitas hidup masyarakat.

2. Kemitraan Polri dan Masyarakat.
Dibandingkan jaksa dan hakim, posisi polisi terhitung unik sekaligus
kontroversial. Kalau jaksa dan hakim, paling banter berhadapan dengan
terdakwa, sejumlah saksi, dan pengunjung sidang. Tapi polisi tak hanya
menghadapi pesakitan, saksi, dan pengunjung sidang. Setiap saat,
mereka berhadapan langsung, bahkan berbenturan dengan masyarakat.
Ini memang karena peran dan fungsi polisi lebih kompleks, disamping
menjadi penegak hukum sekaligus juga menjadi pelayan dan pelindung
masyarakat. Posisi ini mengharuskan polisi memiliki gaya dan motif
berbeda. Sebagai penegak hukum, polisi mesti siap berseberangan
dengan masyarakat. Namun, sebagai pelayan dan pelindung
masyarakat, polisi mesti berada di dekat rakyat. Tidak mudah
sesungguhnya menjadi polisi. Terhadap masyarakat, harus bersikap
ramah dan bertindak bijak. Terhadap penjahat, harus selalu waspada.
5
Tidak jarang polisi yang bertugas berada dalam bahaya. Nyawa atau
setidaknya luka menjadi taruhannya.
Setiap waktu pula upaya kepolisian untuk mendongkrak citra positif
selalu berpacu dengan cemooh masyarakat. Mestinya pelbagai kejadian
buruk bisa berkurang, apalagi polisi sudah dilepaskan dari TNI. Di masa
transparansi, akuntabilitas, dan transisi demokrasi seperti sekarang ini,
jajaran kepolisian dituntut untuk bisa membersihkan masalah korupsi
tersebut. Sebagai salah satu institusi yang memiliki peran besar dalam
proses pengamanan dan keamanan negara, Polisi Republik Indonesia
(POLRI) masih perlu terus untuk berbenah diri menuju polisi yang
profesional.
Bagaimanapun polisi yang benar-benar sipil dan profesional amat
diharapkan.
Kalau korupsi bisa dikurangi, niscaya sebagian besar polisi bisa
menjalankan tugas sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat
yang baik. Bukankah dalam penanganan kasus pengeboman di Bali dan
Hotel JW Marriott, kepolisian bisa menunjukkan kredit positif?
Untuk dapat mewujudkan hubungan polisi dan masyarakat yang
ideal bukan merupakan hal yang mudah. Ada yang berproses sangat
cepat dan ada pula yang lambat. Namun yang lebih penting lagi adalah
bagaimana kepolisian mampu mencegah berkembangnya angka
kejahatan dengan memperoleh dukungan maksimal dari masyarakat.3
Disamping itu bagaimana polisi menciptakan rasa aman bagi
masyarakat. Keberadaan polisi disarakan aman oleh masyarakat
sekitarnya.
Dengan keberadaan polisi harus menyenangkan bagi masyarakat
sekitarnya. Polisi yang ramah, sopan, santun dalam berkomunikasi dan
mampu memanusiakan manusia lainya. Meskipun harus bertindak tegas
dalam melakukan upaya paksa tetapi harus tetap memberikan jaminan
3 Arianto, Purwadi: Community Policing Sebagai Gaya Perpolisian Masyarakat /
Polmas (Suatu Tinjauan Dalam Upaya Pencegahan Kejahatan), Selasa, 29-Agustus-2006.
www.lcki.org
6
dan dan kepastian hukum serta perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Tentu polisi mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan
Tuhan yang paling mulia.
Keberadaan polisi harus bermanfaat bagi masyarakat. Keberadaan
polisi harus mampu memberikan petunjuk bagi warga masyarakat yang
tidak tahu, memberikan perlindungan bagi warga masyarakat yang
merasa ketakutan, memberikan pelayanan bagi warga masyarakat yang
membutuhkan pelayanan kepolisian, dan keberadaanya pun dapat
dirasakan ada manfaatnya dalam mendukung tumbuh dan
berkembangnya kualitas hidup masyarakat. Dalam konteks ini polisi
tidak bermain-main dengan hal-hal kegiatan-kegiatan yang bersifat
ilegal, melakukan pungutan liar, memalak, menerima suap. Tentu
manfaat polisi bagi masyarakat diperoleh melalui kinerja yang
profesioanal dan handal, petugas yang mampu membagun citra positif di
masyarakat tentu kebanggaannya adalah ketika keberadaan polisi akan
bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Dan bukan lagi uang,
jabatan basah atau hal-hal yang memalukan atau aib bagi masyarakat.
Berkembangnya suatu pemikiran untuk mewujudkan keamanan
dan ketertiban masyarakat, tidak mungkin mampu dilakukan oleh aparat
kepolisiannya sendiri. Hal ini didukung oleh berbagai studi, riset, diskusi,
seminar dan proses ilmiah lainnya. Banyak sarjana ilmu social, hukum,
psikologi, kriminologi, kepolisian dan politik yang telah mengemukakan
pandangan, hasil penelitian dan kajian untuk memperkuat pemikiran
tentang pemahaman hubungan polisi dan masyarakat (Community
Policing) yang ideal.
Penegakan hukum modern merupakan suatu konsep penegakan
hukum yang berorientasi dan menitik beratkan pada tindakan preventif
dibandingkan tindakan represif. Adapun implementasi tindakan ini
diwujudkan dalam rangka menurunkan angka kejahatan, menghilangkan
rasa cemas masyarakat, mencegah timbulnya kejahatan dan
mewujudkan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik.
7
Selanjutnya dengan melakukan analisa terhadap kejahatan yang
tajam akan lebih memungkinkan seorang pimpinan kepolisian untuk
mengikuti perkembangan kejahatan yang dapat berubah dengan cepat.
Yang pada akhirnya akan lebih memudahkan dalam menerapkan
tindakan antisipasi pada saat dan kesempatan yang tepat.

3. Citra Polisi.
Bagi orang yang pernah mempunyai pengalaman berhadapan
dengan polisi berpendapat bahwa berurusan dengan polisi tidak selalu
menyenangkan. Ketidak percayaan masyarakat terhadap polisi dapat
ditunjukan dari berbagai anekdot yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat seperti "hilang ayam lapor polisi malah hilang kambing".
Demikian pula bagi sebagian pengguna kendaraan bermotor aktif yang
pernah ditangkap polisi berpendapat bahwa alasan penangkapannya
suka tidak jelas, dicari-cari, ujung-ujungnya duit saja. Kira-kira gambaran
itulah yang menunjukan keberadaan polisi dengan masyarakatnya ada
jurang pemisah, ada jarak yang cukup jauh dan ada kecurigaan atau
saling ketidak percayaan baik dari kepolisian terhadap masyarakatnya
maupun sebaliknya.
Telah banyak dari kalangan masyarakat yang mengakui bahwa Polri
telah melakukan banyak perubahan dan kemajuan yang dapat
meningkatkan keyakinan maupun kepercayaan masyarakat. Berbagai
prestasi besar yang telah dicapai Polri seperti pengungkapan kasus
terorisme, penyelundupan, narkoba, pembunuhan dan sebagainya telah
mengharumkan dan mengangkat citra Polri di mata masyarakat. Prestasi
tersebut yang sering dikatakan sebagai celebrity case prestasi khusus
dan dalam kurun waktu yang tertentu. Sedangkan yang merupakan daily
case atau yang sehari-hari dilakukan sering berbeda bahkan
bertentangan, itulah yang sering dilihat dan dihadapi masyarakat,
8
sehingga prestasi gemilang Polri sering dilupakan begitu saja atau tidak
mampu menganggkat citra Polri pada umumnya.4
Peran serta Polisi dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Yaitu dengan memberikan pelayanan keamanan dan menciptakan rasa
aman bagi warga masyarakat, sehingga mereka dapat melaksanakan
aktifitas kehidupannya untuk mampu menghasilkan suatu produksi, serta
untuk hidup sejaktera. Dalam konteks ini polisi tidak melakukan tindakan
yang anti produktifitas, seperti memalak, melakukan pungutan liar,
menerima suap atau menjadi backing dalam berbagai kegiatan yang
ilegal. Sehingga tidak memperburuk bahkan merusak citra polisi Dan
yang lebih penting yaitu dengan keberadaan polisi haruslah fungsional
dalam masyarakat, polisi dibutuhkan dan diharapkan yang mendapatkan
dukungan dari warga masyarakat.
Pada saat ini Polri telah mengadopsi sebuah falsafah baru dalam
kepolisian yaitu community policing sebagai model pemolisian baru
melalui Polmas. Hal tersebut tentunya akan membawa konsekuensi
besar bagi polisi yaitu harus adanya perubahan perilaku dan tindakantindakan
petugas kepolisian baik tingkat manajemen maupun tingkat
operasional. Perubahan yang mendasar dari falsafah tersebut harus
diawali dari adanya kecintaan dari anggota polisi akan tugas dan
tanggung jawabnya. Tugas dan tanggung jawab apapun yang diberikan
atau yang dipercayakan kepadanya harus menjadi suatu amanah dan
harus dicintai dan ada rasa kebanggaan. Hal tersebut perlu diawali sejak
adanya deskripsi dan analisa kerja yang jelas dan tertulis yang dibuat
secara berjenjang dari tingkat yang terendah sampai tingkat yang
tertinggi, secara terinci sebagai penjabaran tugas. Adanya standarisasi
keberhasilan tugas yang bervariasi antara satu tempat tugas dengan
4 Dwilaksana, Chrysnanda: Keberadaanku Aman, Menyenangkan dan Bermanfaat
bagi Masyarakat: Perubahan Perilaku Petugas Kepolisian. Pelatihan dan Diskusi
Implementasi Polmas, Polda Daerah Istimewa Yogyakarta; 7 Agustus 2007.
9
yang lainya. Untuk mengetahui keberhasilan dalam melaksanakan tugas
perlu adanya penilaian kinerja yang obyektif, konsisten dan konsekuen.
Tentu bagi anggota polisi yang bekerja dengan baik atau yang
berprestasi harus diberikan penghargaan, demikian juga halnya yang
tidak berprestasi atau yang melanggar ketentuan atau kode etik harus
ada sanksi atau hukuman sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang
berlaku pula. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam sistem
reward and punishment. Dan tentunya setiap pekerjaan dalam masingmasing
bagian atau satuan kerja mempunyai etika kerja sebagai bentuk
pertanggungjawaban baik internal maupun eksternal yaitu kepada
masyarakat, yang bervariasi dan dibuat secara berjenjang dari tingkat
bawah sampai tingkat atas. Hal itu juga mencakup hal-hal yang harus
dilakukan, hal-hal yang tidak boleh dilakukan, produk-produk yang harus
dihasilkan serta sanksinya bila melakukan pelanggaran hukum maupun
ketentuan yang berlaku.
Perubahan perilaku bagi petugas kepolisian hendaklah dapat
mengikrarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan,
keselamatan, keamanan, pendidikan, tentu ini bukan sekedar slogan
atau jargon-jargon gombal yang tidak pernah ada ujung pangkalnya.
Bagian yang terpenting adalah keberadaan polisi benar-benar dapat
dirasakan aman bagi masyarakat. Keberadaan polisi memberikan
keamanan bagi masyarakat atau masyarakat merasa aman, terlindungi.
Bukan sebaliknya keberadaan polisi membuat masyarakat menjadi
ketakutan. Di Inggris, Polisi yang diberikan julukan kesayangan oleh
masyarakat dengan sebutan Bobby, adalah sosok yang disegani dan
sekaligus dicintai masyarakat, lebih dari kecintaan kepada tentara. Di
sana, kalau ada polisi yang dibunuh penjahat, maka seantero negeri
orang akan mencari pembunuhnya.
Belum lagi berbagai kecaman masyarakat tentang prilaku
menyimpang (anomali) dari anggota Polri terkait maupun tidak terkait
dengan kinerja menjadi permasalahan yang harus pula dipikul oleh Polri
sebagai institusi. Pola kinerja yang masih mengadopsi budaya militeristik
menjadi bagian yang tidak terpisahkan sejak Polri berdiri. Bahkan
10
setelah delapan tahun Polri terpisah dari TNI, yang menularkan budaya
tersebut kepada Polri. Hal ini menjadi satu pekerjaan rumah yang serius
bagi internal Polri, tidak hanya sekedar menolak untuk membahas
berbagai pola dan bentuk koordinasi antar lembaga keamanan ataupun
posisi Polri, terkait dengan profesionalisme. Namun juga secara
kelembagaan Polri harus mampu merespon berbagai kondisi faktual
terkait dengan kinerja Polri, yang terbebas dari kultur militer dan dan
mempercepat proses metamorfosis Polri menjadi polisi sipil.
Karena itu paradigma berpikir masyarakat yang juga makin
kompleks dan maju. Hal ini akan tercermin dengan prilaku menyimpang
dan tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang juga
makin bervariasi. Jelas hal tersebut harus diimbangi pula dengan
mengembangkan potensi organisasi Polri agar selalu siap dalam
melakukan berbagai antisipasi dan pendekatan yang dilakukan.
Hal yang masih dirasakan hingga sekarang adalah kultur militeristik
yang mendarah daging dalam hampir semua aspek organisasi Polri, dari
mulai penyebutan kepangkatan, penyebutan tempat, hingga pola
operasi, tidak hanya berlaku bagi Brimob Polri, sebagai satuan elit
pamungkas yang dimiliki Polri, tapi hampir semua aspek keorganisasian,
sekedar ilustrasi misalnya pola pendidikan, bahkan hingga sekarang
masih mempertahankan pendekatan militeristik, meski telah terjadi
pengurangan dan penyesuaian bentuk saat pemisahan Polri dari TNI.5

5. Profesional, Tegas dan Humanis.
Kekhasan community policing yang menekankan pada pentingnya
peran dan keterlibatan masyarakat untuk mendukung terciptanya polisi
sipil yang profesional dan bertanggung-jawab merupakan suatu bentuk
dukungan yang strategis terhadap program reformasi Kepolisian di
Indonesia. Hal ini terutama karena adanya dua aspek penting dalam
upaya reformasi tersebut, yaitu: pertama, adanya kebutuhan untuk
5 http://muradi.wordpress.com/2007/09/08: Polri, Kultur Militeristik, dan Potong
Satu Generasi.
11
menghilangkan Kepolisian dari cara-cara yang militeristik dengan
mentransformasikannya menjadi suatu institusi sipil yang melayani dan
melindungi masyarakat; serta yang kedua yaitu kebutuhan untuk
mereformasi polisi guna mendukung proses demokratisasi yang lebih
luas di Indonesia. Selain itu, community policing juga sangat diperlukan
guna memberikan kemampuan kepada pihak Kepolisian untuk merespon
secara memadai dan cepat kebutuhan-kebutuhan dari warga
masyarakat atas lingkungan yang aman.
Polisi yang merangkul bukan memukul, polisi yang mengajak bukan
membentak, polisi yang mendidik bukan menghardik, itulah pesan yang
harus dipegang oleh setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas.
Pesan tersebut bukan sekedar kalimat yang tidak memiliki makna namun
jauh dari itu kalimat tersebut memiliki makna yang luar biasa dalam
mendorong jajaran Polri lebih meningkatkan citra dan
profesionalismenya agar mampu berperan sebagai "pelayan dan
pengayom" yang menjadi mitra masyarakat. Meskipun di sisi lain,
sebagai salah satu institusi yang memiliki peran besar dalam proses
pengamanan dan keamanan negara, Polisi Republik Indonesia (POLRI)
masih perlu terus untuk berbenah diri menuju polisi yang profesional.
Citra Polri masih saja tercoreng dengan berbagai kasus yang
dilakukan oknum Polri. Yang paling menonjol saat ini, keterlibatan dalam
kasus narkoba. Akibatnya, masyarakat menilai polisi juga "ikut bermain".
Selain itu, kasus penyalahgunaan senpi (senjata api) oleh oknum polisi
menjadi sorotan masyarakat. Sejumlah korban berjatuhan, baik dari
kalangan sipil maupun angota polisi sendiri. Hingga ada pernarikan
besar-besaran senpi dari tangan polisi.
Sungguh sebuah predikat sangat membanggakan, menjadi polisi
karena tugas-tugas mulia. Karena itu, setiap aparat kepolisian harus
bangga dan berintegritas kuat terhadap profesinya. Lebih tepatnya, polisi
harus mawas diri, polisi tidak boleh menjadi penakut dengan sikap
pengecut mencari-cari kelemahan masyarakat. Kepolisian yang
merupakan ujung tombak penyelenggara keamanan di dalam negeri,
dan juga sebagai the gatekeeper of the criminal justice system memang
12
tengah mengalami masa-masa sulit. Bertumpuk persoalan, baik internal
maupun eksternal, tengah membebani kepolisian RI. Masalah eksternal
berkenaan dengan kondisi negara yang belum stabil, dan sejumlah
masyarakat yang masih berada dalam dunia mispersepsi akan makna
demokrasi (yang diterjemahkan sebagai kebebasan sebesar-besarnya,
dan kalau mungkin tanpa batas). Seiring dengan itu semua, masih
banyak harus dibenahi, dan tanggungjawab tersebut tidak hanya berada
di tangan pihak keplisian tetapi semua pihak di dalam masyarakat.
Pemisahan Kepolisian Republik Indonesia dari Tentara Nasional
Indonesia (TNI) memberikan peluang bagi dilakukannya pemikiran ulang
yang mendasar terhadap peranan Kepolisian. Community policing
merupakan salah satu cara yang paling inovatif untuk mendukung
upaya-upaya reformasi Kepolisian yang diupayakan baik oleh pihak
Kepolisian sendiri maupun kelompok-kelompok masyarakat. Kekhasan
community policing yang menekankan pada pentingnya peran dan
keterlibatan masyarakat untuk mendukung terciptanya polisi sipil yang
profesional dan bertanggung jawab merupakan suatu bentuk dukungan
yang strategis terhadap program reformasi Kepolisian di Indonesia. Hal
ini terutama karena adanya dua aspek penting dalam upaya reformasi
tersebut, yaitu: pertama, adanya kebutuhan untuk menghilangkan
Kepolisian dari cara-cara yang militeristik dengan
mentransformasikannya menjadi suatu institusi sipil yang melayani dan
melindungi masyarakat; serta yang kedua yaitu kebutuhan untuk
mereformasi polisi guna mendukung proses demokratisasi yang lebih
luas di Indonesia. Selain itu, community policing juga sangat diperlukan
guna memberikan kemampuan kepada pihak Kepolisian untuk merespon
secara memadai dan cepat kebutuhan-kebutuhan dari warga
masyarakat atas lingkungan yang aman.
Adanya harapan masyarakat yang terlampau banyak pada peran
polisi sebenarnya menjadi modal utama bagi Polri untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat. Membasmi segala bentuk kejahatan,
menolong golongan lemah yang teraniaya, penegak hukum sekaligus
pembimbing rakyat yang tampan simpatik. Polisi juga harus bersih dari
13
cacat dan cela. Nantinya masyarakat akan berharap sosok polisi sebagai
pelayan masyarakat yang simpatik, penegak hukum yang tegas tapi
tetap luwes dan pemburu kejahatan yang tangguh.
Seiring dengan itu semua, masih banyak harus dibenahi, dan
tanggungjawab tersebut tidak hanya berada di tangan pihak pimpinan
kepolisian tapi kita semua yang mencintai keberadaan polisi, seperti :
a. SDM yang masih belum seluruhnya profesional, suatu kondisi yang
tidak terlepas dari manajemen rekrutmen, pendidikan, penempatan,
promosi yang belum didasarkan semata-mata pada kualitas. Hal ini
juga berkaitan erat dengan sistem pelatihan yang diperoleh ketika
hendak menjadi polisi (terutama kurikulum dan alokasi waktu untuk
pendalaman bahan yang masih belum memadai). Sebagai akibatnya,
kemampuan di lapangan seringkali belum sebagaimana yang
diharapkan. Sistem pendidikan yang masih mengedepankan para
perwira sebagai top manager maupun middle manager (terutama
pendidikan umum kedinasan / beasiswa), yang semestinya juga
melibatkan para bintara yang notabene berhadapan langsung
dengan pelayanan masyarakat. Sehingga dengan ilmu pengetahuan
yang diperoleh dan dimilikinya dapat mengimbangi kemampuan
pendidikan masyarakat yang dihadapinya.
b. Sistem kompensansi atau penggajian yang jauh dari sufficient,
dengan berbagai implikasinya pada pelaksanaan tugas polisi. Tidak
jarang kecilnya gaji ini kemudian dijadikan justification untuk
melakukan penyimpangan, walau kenyataannya tidak selalu kesulitan
ekonomilah yang mendorong perilaku macam ini.
c. Mekanisme pengawasan yang belum sempurna. Lemahnya
pengawasan semacam ini, mudah diduga, telah menimbulkan
tingginya tingkat penyimpangan sebagaimana telah banyak
ditengarai oleh media massa dan masyarakat umum.
d. Intervensi dari berbagai pihak terhadap kinerja kepolisian seringkali
dikeluhkan.
14
e. Dukungan sarana dan prasarana yang belum memadai seringkali
dijadikan justification atas kinerja yang kurang baik. Oleh karenanya
kondisi ini harus diperbaiki untuk tegaknya supremasi hukum.
f. Ketentuan perundang-undangan yang masih rancu mengenai fungsi
penyidikan dan penyelidikan tindak pidana tertentu. Masalah inipun
harus segera mendapat penyelesaian agar tidak berlarut-larut,
karena dapat menimbulkan friksi antar lembaga kepolisian dan
kejaksaan maupun lembaga lain.
g. Budaya hukum yang terbentuk akibat sistem yang telah merasuk dan
juga kurangnya integritas personel, yang dikenal sebagai police
subculture.
Ke depan aparat kepolisian tidak selalu harus berhubungan dengan
pentungan, pistol atau tameng tetapi juga harus mampu dan mengerti
manajemen termasuk juga menguasai teknologi yang berkembang,
termasuk di dalamnya teknologi menghadapi kasus-kasus kerah putih
yang bukan tidak mungkin akan menjadi kejahatan yang bersumber dari
kemajuan teknologi. Lemahnya manajerial Polri berarti pula lemahnya
tindakan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan operasionalisasi
pembinaan kamtibmas dan pengawasan pengendaliannya.
Polri selalu beralasan jumlah personel sedikit dibanding jumlah
penduduk yang terus bertambah. Sebagaimana dikatakan Brigjen Pol
Anton Tabah yang mengutip buku “The Real War On Crime”, NY 1998:
“Penambahan besar-besaran jumlah polisi tidak akan berdampak apaapa
kecuali menambah sulitnya pembinaan jika tingkat kesejahteraan
polisi masih tetap rendah.” Karena itu, meningkatkan kesejahteraan
polisi lebih diprioritaskan daripada menambah jumlah polisi, yang akan
meningkatkan kinerja polisi bukan jumlah polisi tetapi kesejahteraan
polisi.6
6 Tabah, Anton: Bureaucracy Policing (Pemolisian Birokrasi). Penerbit dan percetakan
Sahabat. Klaten, 2009. Hal. 41.
15

6. Penutup.
Walaupun masalah profesionalitas Polri sudah muncul sejak lama,
tetapi bagaimana hal itu bisa diwujudkan bukan merupakan pekerjaan
yang mudah, peningkatan yang didapat hingga saat ini belum juga
memenuhi harapan masyarakat. Polisi yang selalu diharapkan oleh
masyarakat adalah polisi yang bersih, jujur, berwibawa, sabar tetapi
tegas serta jauh dari perilaku menyimpang baik dalam pelaksanaan
tugas maupun dalam pergaulan masyarakat. Terlalu banyak kendala
untuk melahirkan polisi yang didambakan masyarakat. Mulai dari
rendahnya gaji polisi, Sistem Rekrutmen, Sistem Pendidikan sampai
dengan sulitnya mendapatkan sumber daya manusia yang terbaik.
Kepolisian berusaha semaksimal untuk dekat dengan masyarakat
dengan memberdayakan kemitraan antara Polri dengan masyarakat
melalui berbagai cara guna meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada
Polri. Kemitraan antara Polri dengan masyarakat diharapkan mampu
menekan tingkat kejahatan di masyarakat. Dengan menigkatnya
pelayanan dan kepercayaan masyarakat kepada Polri, diharapkan pula
warga masyarakat tanpa sungkan-sungkan datang melaporkan apa saja
yang terkait dengan kamtibmas di wilayahnya kepada polisi setempat.
Selain itu, pelaporan yang cepat ke kantor polisi akan membantu polisi
untuk datang ke tempat kejadian perkara (TKP). Patroli polisi yang
dilaksanakan selama 24 jam mengelilingi kota-kota dan pemukiman
warga akan menciptakan warga masyarakat merasa aman untuk
melakukan aktivitasnya. Semua itu nantinya akan bermuara kepada
kecepatan dan daya tanggap polisi terhadap persoalan yang terjadi
dalam masyarakat. Masyarakat berharap polisi benar-benar menjadi
pelayan yang baik. Untuk mewujudkan semua itu diperlukan sosok polisi
yang profesional, tegas dan humanis
16

Daftar Bacaan.
Rahardjo, Satjipto: Tentang Community Policing di Indonesia dalam
Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Editor Parsudi Suparlan. Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Jakarta. 2004.
Dwilaksana, Chrysnanda: Perpolisian Komuniti (Community Policing)
Dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban, dalam Bunga Rampai Ilmu
Kepolisian Indonesia, Editor Parsudi Suparlan. Yayasan Pengembangan
Kajian Ilmu Kepolisian. Jakarta. 2004.
Arianto, Purwadi : Community Policing Sebagai Gaya Perpolisian
Masyarakat / Polmas (Suatu Tinjauan Dalam Upaya Pencegahan Kejahatan),
Selasa, 29-Agustus-2006. www.lcki.org
Dwilaksana, Chrysnanda: Keberadaanku Aman, Menyenangkan dan
Bermanfaat bagi Masyarakat: Perubahan Perilaku Petugas Kepolisian.
Pelatihan dan Diskusi Implementasi Polmas, Polda Daerah Istimewa
Yogyakarta; 7 Agustus 2007.
http://muradi.wordpress.com/2007/09/08: Polri, Kultur Militeristik, dan
Potong Satu Generasi.
Tabah, Anton: Bureaucracy Policing (Pemolisian Birokrasi). Penerbit dan
percetakan Sahabat. Klaten, 2009.
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter