-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Analisis Bukti Elektronik Dalam UU ITE


Oleh:
Atang Setiawan


Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
Banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap korban perempuan dan anak yang terjadi dalam masyarakat pada saat ini menyebabkan perlunya penanganan yang serius bagi korban tersebut. Dalam rangka penanganan korban kekerasan tersebut tidak mungkin dapat ditangani oleh penyidik secara langsung tetapi memerlukan berbagai aspek dalam memulihkan kondisi korban. Kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam masyarakat menunjukkan angka kejadian yang lebih besar sebagaimana biasanya fenomena gunung es.
Pada kenyataannya korban kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak semata-mata sebagai korban tindak pidana, tetapi juga berperan sebagai pasien rumah sakit yang memerlukan perawatan di samping sebagai orang yang menjadi subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Oleh karena itu seorang korban tidak seutuhnya menjadi barang bukti tetapi yang menjadi barang bukti pada tubuh korban hidup tersebut adalah perlukaan beserta akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya pula, karena barang bukti tidak dapat dipisahkan dari orangnya maka tidak dapat disegel atau disita sehingga yang dapat dilakukan yakni dengan menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk “visum et revertum”.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan tanda-tanda kekerasan khusus, beberapa bentuk perlukaan yang sering dikaitkan dengan tindak kekerasan atau penganiayaan antara lain:
a. Memar akibat tamparan yang kuat dengan meninggalkan bekas telapak tangan.
b. Memar yang membentuk gambaran jari dan ibu jari sering nampak pada muka.
c. Memar yang membentuk garis, lengkungan atau lingkaran akibat benda-benda tumpul seperti ikat pinggang, kabel dan sebagainya.
d. Luka bakar yang berbentuk khas sebagai akibat dari sundutan rokok atau setrika atau luka bakar akibat cairan panas yang terletak pada lokasi yang janggal.
e. Luka fisik lainnya yang menyebabkan korban tidak berdaya.
Akibat tindak kekerasan yang menyebabkan luka fisik tersebut perlu mendapatkan pengobatan dan perawatan medis. Perawatan dan pengobatan korban kekerasan melalui aspek medis akan membantu dan mendorong korban untuk segera memulihkan kondisi kesehatannya.

Posisi Korban Kekerasan.
Perempuan dan anak sebagai korban kekerasan pada umumnya akan merasakan penderitaan jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Karena itu dalam setiap peristiwa kejahatan atau kekerasan, pihak korban merupakan pihak yang paling menderita dan dirugikan. Perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan khususnya apabila menyangkut kekerasan atau kejahatan seksual, akan mengalami trauma atau beban mental yang berkepanjangan terutama dari aspek fisik, mental maupun sosial.
Pada kenyataannya pemeriksaan yang dilakukan polisi, meskipun dilakukan demi kepentingan korban sendiri justru mensyaratkan para korban untuk menceritakan kronologis kejadian yang telah mereka alami. Dalam proses penyidikan, korban bahkan mendapat tekanan sehingga mendorong korban untuk diam dan tidak mengungkapkan kasus yang sebenarnya terjadi. Situasi yang sama juga terdapat di dalam ruang persidangan. Beberapa fakta mengenai korban kekerasan menunjukkan bahwa :
a. Secara fisik; korban kekerasan akan mengalami gangguan kesehatan / fisik baik yang bersifat temporer maupun permanen seperti korban menderita cidera, luka atau cacat pada tubuh korban dan atau akan mengakibatkan kematian sehingga akan berpengaruh terhadap timbulnya gangguan psikis.
b. Secara psikis; korban kekerasan akan mengalami trauma psikis yang berkepanjangan, seperti merasa ketakutan, hilangnya percaya diri dan kemampuan untuk bertindak serta merasa tidak berdaya. Apalagi bila penanganannya dilakukan secara kurang manusiawi seperti menjadi objek pemberitaan media massa yang tidak bertanggung jawab, maupun proses penyidikan yang tidak efisien dan sebagainya.
c. Secara Seksual; korban akan menderita karena mengalami kerusakan alat kelamin maupun bagian-bagian tubuh yang vital lainnya. Akibat kerusakan bagian tubuh yang vital tersebut korban merasa sebagai orang yang “ternoda” dan merupakan aib bagi korban sendiri maupun keluarga korban.
d. Secara sosial; korban akan mengalami pendiskriminasian secara social, sehingga dalam kehidupan social korban akan terganggu. Korban merasa dikucilkan dalam kehidupan sosialnya serta seringkali mendapatkan stigmatisasi atau predikat buruk dalam masyarakat.
e. Secara hukum; korban selalu berada pada pihak yang lemah oleh karena ketentuan perundang-undangan di Indonesia yang mensyaratkan unsur-unsur pembuktian yang lengkap akan lebih menambah trauma bagi korban. Bukti-bukti yang lebih lengkap tersebut akan digali dari pengakuan korban sehingga korban merasa tereksploitasi secara psikis dan pada akhirnya akan menambah beban psikis korban.
Oleh karena itu tehnik penyidikan dalam menangani kasus kekerasan terhadap korban kekerasan perempuan dan anak jelas sangat diperlukan untuk mengungkap kronologis kejadian yang menimpa korban. Adanya tehnik pemeriksaan dan penyidikan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan oleh polisi selaku penyidik yang bersamaan waktunya dengan pemeriksaan secara medis pada fasilitas kesehatan akan memudahkan petugas penyidik Polri dalam mendapatkan pengakuan dan keterangan dari korban.
Karena itu pengakuan dan keterangan korban akan sangat membantu dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap korban perempuan dan anak secara hukum. Pengakuan korban merupakan bukti yang sangat berharga yang perlu dipertimbangkan dalam mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan.

Peran Bukti Elektonik
Selain barang bukti korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berupa bentuk “visum et revertum” dari rumah sakit. Dapat dimungkinkan pula adanya alat bukti lain yang dapat dilakukan untuk menunjang proses penyidikan dan penuntutan para pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 44 tentang alat bukti membuka peluang untuk menjadikan barang bukti elektronik sebagai barang bukti yang dapat mengakomodasi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagaimana pada Pasal 44 undang-undang tersebut disebutkan bahwa:
“Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan; dan
b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).”
Pada pasal 44 huruf b disebutkan bahwa; “Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik…..”, hal tersebut terkait dengan Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa; “Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI)……”. Oleh karena itu, berdasarkan pasal 1 angka 1 tersebut di atas foto merupakan salah satu alat bukti elektronik yang dapat digunakan sebagai alat bukti guna mendukung pembuktian baik pada proses penyidikan, penuntutan maupun pengadilan terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Demikian pula pada Pasal 1 angka 4 dikemukakan bahwa: “Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirim, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, ditampilkan dan atau didengar melalui computer atau system elektronik….”. Karena itu ketidakmampuan korban untuk melakukan kesaksian yang berupa wawancara apalagi harus hadir di ruang pemeriksaan, maka merujuk kepada pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dijadikan alat bukti untuk proses penyidikan dan penuntutan. Adapun bentuknya dapat berupa rekaman audio visual maupun hasil cetak photo yang dapat dilihat, ditampilkan, dan atau didengar melalui computer atau system komputer. Keduanya menurut UU tersebut dapat dikategorikan merupakan sebuah Dokumen Elektronik.
Perempuan dan anak sebagai korban kekerasan akan menghadapi masalah dan penderitaan sehubungan dengan tindak kekerasan yang diterimanya. Selain penderitaan fisik, penderitaan yang lebih berat lagi mereka harus menghadapi masalah sosial akibat adanya diskriminasi dan stigmatisasi (kesan atau prasangka buruk dari masyarakat sekitarnya). Masalah diskriminasi dan stigmatisasi terhadap korban baik selama pemeriksaan medis maupun penyidikan harus dihindari sejauh mungkin untuk tidak menambah beban korban. Korban memerlukan pelayanan yang baik dari petugas medis maupun petugas penyidik dalam rangka memulihkan kondisinya. Karena itu rekaman audio visual dan hasil cetak photo korban kekerasan pada kasus trafiking merupakan bentuk yang dapat mewakili ketidakmampuan korban untuk memberikan kesaksian di depan penyidik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pengadilan terhadap para pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diharapkan dapat menyamakan persepsi antara penyidik polisi, jaksa penutut umum dan hakim dalam memutus para pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di samping itu pula, undang-undang tersebut diharapkan memfasilitasi dan menjembatani korban kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam memperjuangkan haknya di muka hukum. Masalah yang selama ini muncul dengan adanya kesulitan menghadirkan korban sebagai saksi, dapat terwakili dengan adanya dokumen elektronik menjadi salah satu alat bukti dalam proses penyidikan. Penyidik maupun penuntut umum tidak perlu menghadirkan saksi korban, karena korban sudah dijemput kelurganya dan dipulangkan ke daerah asal. Dengan adanya rekaman dan foto korban sebagai bukti telah terjadinya kekerasan atau penganiayaan, maka hal tersebut akan sangat membantu dalam proses penyidikan. Tinggal bagaimana menyamakan persepsi antara penyidik, penuntut umum dan hakim yang akan memutuskan perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Jakarta, 17 Oktober 2008
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter