-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Mudik....oh Mudik.........


Oleh:
Atang Setiawan


Hari-hari di pengujung dan selepas melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadan menjadi momentum untuk bersilaturahmi. Hari Raya Idul Fitri selalu dimaknai kembali ke fitrah atau kesucian diri, sehingga yang diharapkan adalah saling memaafkan antar sesama serta merekatkan lagi ikatan kekerabatan dan persaudaraan.
Proses mudik untuk merayakan lebaran merupakan sebuah “ritual sakral” dan satu “rangkaian budaya” tahunan yang senantiasa ditunggu oleh semua lapisan masyarakat terutama masyarakat “urban”. Namun sejauh ini Idul Fitri dan Ramadhan hanya dimaknai sebagai rutinitas spiritual tanpa makna, sedangkan mudik sendiri sudah menjadi ritus budaya yang sedemikian mentradisi dalam lapisan masyarakat. Tradisi mudik bertujuan untuk bersilaturahmi dengan keluarga dan sanak saudara di kampung halaman. Demikian juga setelah melaksanakan silaturahmi dengan keluarga dan sanak saudara di kampung halaman kembali ke lingkungan kerja, segera digelar silaturrahmi dengan seluruh komponen kantor atau perusahaan atau biasa disebut dengan halalbihalal.
Fenomena mudik justru menjadi kebutuhan sosial, bahkan sebagai subkultur di tanah air yang selalu berjalan dari tahun ke tahun, sehingga budaya mudik menjadi penting sebagai relasi sosial. Fenomena mudik tersebut menunjukkan kampung halaman dan ikatan kekerabatan atau kekeluargaan bukan penanda dari mana mereka berasal, tetapi juga memberi spirit identitas baru yang harus diwujudkan. Tradisi mudik bukan sekadar memperlihatkan keberadaan seseorang, melainkan juga mencerminkan proses manusia yang terus menjadi berjalan. Karena itulah, ikatan dengan kampung halaman dan kerabat terus dipelihara sampai dewasa.
Manusia tidak hanya butuh makan dan minum, sukses menjadi pejabat atau menjadi orang kaya. Lewat tradisi mudik secara psikologis memberi sumber kekuatan mental baru bagi mereka. Sebab, selama ini kehidupan di kota bagai fatamorgana, mereka berada di suatu tempat yang asing, dan panas. Kehidupan di kota yang keras menyebabkan aktivitas spiritual "si kaum urban" sudah tidak lagi mampu menahan ”kemaksiatan”. Sehingga dalam suatu waktu mereka akan kelelahan, bosan, dan jenuh serta membutuhkan tempat yang lebih nyaman dan aman. Menjelang Ramadhan berakhir banyak saudara kita yang mudik. Dalam pengertian sosiologis adalah pulang ke kampung halaman setahun sekali sesudah menetap di kota yang jauh dari kampung halaman. Mereka bersilaturahmi, bersalam-salaman, saling menanyakan keadaan masing-masing, saling bermaaf-maafan.
Namun, ada sedikit hal yang sangat disayangkan, karena seringkali "polusi kota" ikut terbawa. Mereka membawa bukti keberhasilan hidup di kota yang penuh persaingan, diceritakan dan ditunjukkan kepada teman-teman atau kerabat di kampuang halaman. Bukti itu tidak lain adalah bukti-bukti material kota yang ”air dan udaranya” tidak lagi jernih dan terkena polusi. Spiritualitas terkikis, kebersahajaan terpupus, dan kesetiakawanan terkoyak. Padahal "mudik" mestinya harus disertai pula dengan makna kembali semangat seperti di kampung halaman, dengan semangat saling menghargai, gotong royong, kesetiakawanan, kebersahajaan, dan persaudaraan untuk dibawa lagi ke kota.
Mudik dijadikan jembatan untuk kangen-kangenan dengan sanak saudara di desa. Pemudik yang rata-rata berasal dari desa / kampung diajak “bernostalgia” dengan masa lalu, dengan keterikatan emosional, dengan kesederhanaan dan “romantisme” suasana alam pedesaan. Lalu, mengapa kita harus repot-repot menjalan tradisi itu? Selain menjaga silaturahmi dengan kerabat di kampung halaman atau lebih jauh kita akan tetap ingat kepada asal-muasal kita.
Selain itu mudik juga bisa jadi momen “unjuk diri”. Ajang dimana bisa menunjukkan eksestensi dan keberhasilan seseorang selama di perantauan kepada masyarakat tempat dia berasal. Makna mudik mulai mengalami pergeseran nilai dengan terkontaminasi oleh adanya kegiatan “pamer” kekayaan. Dan tanpa disadari masyarakat “kampung” pun ikut ternyata mulai terkontaminasi oleh budaya tersebut. Mereka cenderung lebih menghargai mereka yang membawa kendaraan, harta benda yang banyak dan “mentereng” ketimbang yang tidak punya apa-apa. Padahal seharusnya hikmah mudik yang terbesar dan dikedepankan, adalah momentum kembali ke fitrah dengan melakukan sungkem dan berbaik-baikan pada orang tua. Karena pertemuan dengan orang tua, kerabat, saudara, sahabat mampu menjadi motivasi/spirit yang luar biasa.
Meski Hari Raya Idul Fitri telah lewat, tidak ada salahnya untuk mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H, mohon maaf lahir batin.


Jakarta, 6 Oktober 2008
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter