Oleh: Atang Setiawan
Kejahatan Dulu dan Sekarang
Pada masa dahulu, mungkin kita mengenal bentuk kejahatan yang sederhana, seperti mencuri, merampok, menipu atau bahkan membunuh. Setelah itu, pelaku akan melarikan diri atau melaporkan diri kepada polisi. Sehingga, berdasarkan pemahaman tersebut, apabila orang berbicara tentang pelaku kejahatan maka konotasinya akan menunjuk orang miskin dan tidak berpendidikan yang merupakan pelaku kejahatan. Para pelaku kejahatan ini, semenjak awal mempersiapkan diri dengan segala sesuatu yang dipergunakan untuk melumpuhkan korbannya melalui sarana dan cara-cara kekerasan (Tb. Ronny R. Nitibaskara, 2006; 209)
Pada masa sekarang, bentuk kejahatan sudah berubah, tidak sederhana lagi. Kejahatan cenderung dilakukan sekaligus pada satu waktu dan tempat yang bersamaan. Mungkin, pernah kita membaca, mendengar berita tentang adanya suatu peristiwa perampokan, setelah itu memperkosa keluarga korban dan sekaligus membunuhnya yang dilakukan dengan sadis. Disamping bentuk kejahatan tersebut, pada masa sekarang ini kejahatan terhadap ekonomi memiliki modus operandi yang sulit dalam pengungkapannya dan dilakukan oleh orang berpendidikan tinggi. Kejahatan dilakukan tidak lagi oleh orang miskin, para pejabat maupun pengusaha yang tidak miskin melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi tersebut menurut Sutherland merupakan suatu bentuk kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya (Muhammad Mustofa, 2007; 127-129).
Karena itu, sudah menjadi kenyataan bahwa semakin maju suatu negara akan semakin banyak pula muncul bentuk kejahatan di negara tersebut. Kemajuan teknologi dan komunikasi yang membawa kemajuan suatu negara mendukung pula terlaksananya kejahatan-kejahatan yang semakin canggih dan semakin menjurus menjadi transnational crime. Kejahatan tersebut tidak hanya mengancam kepentingan pribadi, golongan, tetapi juga kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Hambatan Dalam Penegakan Hukum
Bagi warga masyarakat yang merasa hak atau kepentingannya dilanggar, maka orang tersebut akan mencari keadilan melalui Sistem Peradilan Pidana. Sistem Peradilan Pidana yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim dan Lembaga Pemasyarakatan merupakan profesi hukum yang mempunyai tugas memberikan jaminan hukum, pelayanan hukum atas dilanggarnya hak seseorang serta upayanya untuk memperoleh keadilan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Namun pada pelaksanaannya tugas para pelaksana / pengemban profesi hukum tersebut terkadang mendapat hambatan dalam mewujudkan keadilan yang diharapkan oleh para penuntut keadilan. Menurut Reschemeyer, ciri dari profesi adalah menerapkan pengetahuan secara sistematis untuk memecahkan masalah serta relevan dengan nilai-nilai utama masyarakat (Reschemeyer, Hukum dan Profesi Hukum).
Dalam penegakan hukum guna mewujudkan rasa keadilan yang diharapkan oleh pencari keadilan kadang-kadang terbentur dengan adanya hambatan menyebabkan tertutupnya "pintu" keadilan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain:
Pertama; Legalitas (Undang-Undang/Peraturan). Peraturan yang mengatur dalam penegakan hukum dirasakan kurang lengkap dan memadai atau bahkan tidak ada Undang-Undang/Peraturan untuk menjerat para pelaku tindak pidana, sehingga korban lebih dirugikan. Seperti adanya tindak pidana melalui internet / cyber crime (sudah disyahkan DPR tetapi belum diundangkan dalam Lembaran Negara). Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekadar masalah teknis-prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
Dalam kondisi seperti ini, permasalahan hukum bukan lagi hanya persoalan eksklusif yang berkaitan dengan perlindungan atas hak milik dari segelintir orang. Yang terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkannya kenyataan bahwa permasalahan hukum merupakan permasalahan riil hampir semua orang. Salah satu contohnya adalah bahwa pengadilan saat ini tidak lagi berperan sebagai ruang “sakral” di mana keadilan dan kebenaran diperjuangkan, tapi telah berubah menjadi pasar yang menjadi mekanisme penawaran dan permintaan sebagai dasar putusannya. Sedangkan persoalan dan perkara hukum menjadi komoditinya dan keadilan masyarakat serta martabat kemanusiaan menjadi taruhan utamanya.
Kontroversi dalam penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP sering terjadi, sementara para penegak hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Padahal tujuan utama dari penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan. (Edi Setiadi; Kontroversi Pelaksanaan KUHAP). Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah untuk menwujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan KUHAP akan tetap terjadi kontroversi.
Kedua; Acara/Proses. Adanya proses peradilan yang sering berjalan lambat, menyebabkan terhambatnya hakim dalam memutuskan vonis. Alasan keterlambatan tersebut bisa dikarenakan ketidakhadiran terdakwa dengan berbagai alasan, sakit misalnya. Selain alasan itu juga, jaksa terlambat menghadirkan saksi ke muka persidangan. Akibatnya proses peradilan berjalan lambat bahkan terkesan terkatung-katung. Terlambatnya peradilan terhadap terdakwa menyebabkan, terdakwa bebas karena vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah habis dipotong masa tahanan.
Ketiga; Pelaksana/Aparat. Aparat pelaksana penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sering mendapat hambatan tersendiri baik dari para tersangka maupun para penasehat hukum. Sehingga para pencari keadilan terutama korban, mau tidak mau harus menunggu dan mengikuti proses peradilan pidana. Belum lagi adanya proses permohonan penangguhan penahanan dari tersangka, aparat yang masih sibuk mencari barang bukti lain, maupun adanya pengacara yang ikut memperkeruh suasana proses peradilan pidana. Dalam melaksanakan profesinya, ada saja pengacara yang tidak sesuai dengan tujuan profesinya. Padahal, pada hakekatnya pengacara mempunyai tujuan untuk sama-sama meluruskan hukum, mempertahankan serta menegakkan hukum dan keadilan bersama-sama profesi hukum lainnya seperti polisi, jaksa dan hakim. Seharusnya pengacara membantu polisi, jaksa maupun hakim untuk menemukan kebenaran, membantu mengungkap hal-hal yang mungkin belum terungkap dalam mencari fakta persidangan serta memberi masukan kepada hakim dalam memberikan putusannya sehingga sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Menurut Robert Lefcourt dalam buku Law Against The People, tulisannya mengenai pengacara yang berjudul “Lawyers for the Poor Can’t Win” mengatakan bahwa bagi kelas bawah seringkali tidak mendapat perhatian pengacara dalam kasus hukum yang menimpanya. Orang miskin tidak dapat bersaing jika dihadapkan melawan orang kaya, orang kaya mempunyai kapasitas untuk melindungi mereka dari jeratan hukum, sedangkan bagi orang miskin tidak mendapat perlakukan seperti orang kaya. Selain adanya hambatan yang disebabkan oleh intervensi pengacara dalam proses peradilan, juga adanya desakan untuk memberikan perlindungan terhadap para penegak hukum (terutama hakim) sehingga tidak menjadi sasaran rekan para pelaku kejahatan yang sedang disidangkan.
Pada umumnya, mayoritas masyarakat tidak begitu mengerti dengan seluk beluk teknik pemenangan perkara dalam persidangan. Mereka sama sekali tidak dapat menerima, misalnya jika ada terdakwa yang dalam perhitungan commonsense bersalah namun dibebaskan oleh pengadilan (Tb. Ronny R. Nitibaskara, 2006; 51). Karena itu ketidakpuasan masyarakat, juga merupakan suatu indikasi dari ketidakmengertian masyarakat terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi petugas hukum dalam menghadapi kasus-kasus.
Keempat; Saksi dan bukti. Banyak kasus yang divonis bebas oleh Majelis Hakim dengan alasan tidak cukup bukti atau bahkan tidak terbukti justru merugikan dan tidak sesuai dengan rasa keadilan tersangka/terdakwa. Bagi tersangka/terdakwa seringkali berupaya untuk menghilangkan barang bukti dan bersikap membuat pernyataan untuk berbohong di depan penyidik maupun hakim. Hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena setiap pelaku tindak pidana cenderung menghindari diri dari jeratan hukum maupun hukuman yang sudah diprediksi sebelumnya ketika melakukan kejahatan. Meskipun ketika akan menjalani pemeriksaan yang bersangkutan mendapatkan sumpah, namun kecenderungan untuk menghindar dari jeratan hukum dengan berbohong atau menghilangkan barang bukti pasti terjadi.
Pada kasus korupsi, penyidik memfokuskan diri untuk menyidik pelakunya, penelusuran asset yang dikorup dilakukan setelah penyidik melakukan pemeriksaan. Sementara penyidikan berlangsung, apabila pelakunya tidak ditahan, lebih menyedihkan lagi, para pelaku atau pihak keluarga maupun kuasanya akan dengan leluasa memindahkan kekayaannya, mereka cepat-cepat memindahtangankan atau menjaminkan kekayaannya itu. Pihak yang memberi jaminan seperti pembeli, bank atau pihak tertentu, tentu saja akan menerima penjaminan atau pengalihan kekayaan itu karena berstatus bebas dan belum disita oleh penyidik (Baharudin Lopa, 2001; 58-59). Mungkin juga, bahwa kekayaan yang belum disita tadi pemindahtanganannya akan disyahkan oleh notaris. Hal tersebut mungkin saja terjadi, karena bisa saja pelaku korupsi yang tengah dalam proses penyidikan memberikan keterangan palsu kepada notaris seakan-akan kekayaan tersebut belum disita.
Adanya upaya-upaya untuk menghambat proses mencari keadilan merupakan hal yang wajar, karena tidak ada orang atau pihak yang mau dirugikan baik tersangka maupun korban. Tersangka berharap dan berupaya semaksimal mungkin untuk menghindari jeratan hukum dengan berbagai cara. Mulai dari memberikan keterangan palsu dengan cara berbohong, berupaya menghilangkan barang bukti atau mempergunakan jasa pengacara untuk berargumen ketika dalam pemeriksaan penyidik maupun pemeriksaan di pengadilan. Di sisi lain pihak korban berharap adanya keadilan yang didapatkan atas tindakan tersangka pelaku kejahatan yang telah merampas / melanggar hak dan kepentingannya sebagai warga masyarakat. Korban berharap tersangka pelaku kejahatan mendapatkan perlakukan yang wajar dalam proses peradilan pidana dan mendapatkan hukuman yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan terhadap korban.
Upaya-upaya yang menghambat pencarian keadilan baik bagi korban maupun tersangka terjadi dalam Sistem Peradilan Pidana sejak dari proses di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Karena itu, peningkatan kualitas para penegak hukum terhadap tuntutan keadilan, tentunya tidak hanya sebatas kemampuan pengetahuan saja, tetapi diharapkan menjiwai keyakinan dan sikapnya (Barda Nawawi Arief, 2006; 8)
Bahan Bacaan:
1. Prof. Dr. Tb. Ronny R. Nitibaskara; Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, 2006.
2. Prof. Dr. Muhammad Mustofa, MA; Kriminologi: Kajian Sosiologi terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Jakarta. Fisip UI Press, 2007
3. Prof. Dr. Baharudin Lopa, SH; Kejahatan Korupsi dan Penegakkan Hukum, 2001.
4. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH; Masa Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, 2006.
5. Abel Smith dan Robert Stevens, Hukum dan Profesi Hukum.
6. Edi Setiadi; Kontroversi Pelaksanaan KUHAP, Pikiran Rakyat. 8 Pebruari 2003.
7. Reschemeyer, Hukum dan Profesi Hukum
8. Robert Lefcourt, Law Against the People, Vinttage Book Edition.
Jakarta, 11 Maret 2008
Post a Comment