-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Mempercepat Transformasi Kultur

Atang Setiawan

Setelah sembilan tahun berjalan pasca pemecahan Polri dari TNI, temyata masih panjang jalan yang harus ditempuh Polri sebagai institusi yang sedang bermetamorfosis menjadi lembaga yang sepenuhnya sipil. Mesti harus diakui bahwa berbagai pembenahan menuju Polri yang profesional; bermoral dan modern terus dilakukan. Hanya saja pembenahan tersebut belum cukup kuat untuk mewujudkan Polri ke dalam tatanan yang diharapkan. Terdapat penilaian bahwa reformasi Polri belum menyentuh substansi, seperti reformasi pendidikan di Polri, dan kultur Polri yang masih mempertahankan pola lama. Kenyataan ini makin menyulitkan Polri secara kelembagaan dalam membangun institusi yang profesional dalam bingkai polisi sipil.
Akselerasi transformasi kultural pertu dititikberatkan pada berbagai aspek sebagaimana yang dicanangkan oleh Kapolri Jenderal Polisi Drs. Bambang Hendarso Danuri, MM, pada akselerasi transformasi Polri sebagai berlkut:
1. Membangun mentalitas dasar yang menjiwai pengambilan keputusan yaitu bahwa masyarakat dan Polisi merupakan mitra yang sejajar, tanpa menghilangkan jati dirinya yang tegas dalam menegakkan hukurn.
2. Memperjelas etos kerja dengan motivasi yang baik untuk bertindak berani, jujur, bersih dan berhasil dalam menjalankan setiap tugas.
3. Menginternalisasi nilai-nilai Tri Brata dan Catur Prasetya dengan fokus bahwa fungsi mereka adalah melayani, bukan untuk dilayani.
4. Meningkatkan efektifitas pengawasan dalam setiap pelaksanaan tugas.
5. Membangun kemampuan kepemimpinan yang kuat untuk memberikan teladan bagi bawahannya dan masyarakat.
Perubahan suatu budaya sejatinya terdiri dari tiga lapisan, yaitu perubahan artefak atau yang terlihat secara kasat mata, lalu perubahan perilaku yang bentuknya abstrak tetapi masih terobservasi dengan kasat mata, dan yang paling sulit, perubahan kayakinan atau paradigma. Oleh karena itu, dalam melakukan perubahan budaya, sebuah organisasi harus melakukan perubahan hingga kepada nilai dan keyakinan. Perubahan ini akan menentukan sukses tidaknya perubahan budaya yang ingin dicapai oleh Polri.
Perubahan fisik atau atefak dengan mudah dapat dilakukan. Perubahan perilaku dilakukan dengan cara memperbaiki serta menyusun piranti lunak organisasi sebagai landasan sistem dan prosedur dalam bertugas di Polri, baik untuk operasional maupun pembinaan organisasi. Sementara itu perubahan paradigma, tidak ada jalan lain, kecuali dengan sistem pendidikan yang memadai dan mendasar. Terkait dalam koridor perubahan atau tranformasi kultural ini, maka fokus perhatian saya kedepan adalah sistem pendidikan pengembangan SDM Polri.
Bicara tentang manajemen transformasi kultural Polri setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi perhatian utama yaitu :
1. Budaya dan tujuan besar Polri. Budaya harus dianggap sebagai bagian penting dalam mencapai tujuan besar. Dlam konteks Polri, penentuan tujuan besar Polri merupakan basis paling utama dalam melakukan perubahan, terutama perubahan budaya. Selain itu, gambaran dari tujuan besar tersebut juga haruslah jelas dalam artian mudah dipahami dan tidak menimbulkan multi interpretasi.
2. Faktor – faktor penentu budaya. Budaya yang ingin dicapai oleh Polri ditentukan oleh sejumlah faktor. Faktor utama yang dominan adalah kepemimpinan dan kedaulatan. Sedangkan faktor - faktor lainnya yang menjadi faktor - faktor penentu budaya adalah sistem, kompetensi dan strategi perubahan.
3. Proses tranformasi budaya. Dalam menentukan proses tranformasi budaya yang akan dilakukan, hal - hal yang harus diperhatikan antaranya adalah menyadarkan perlunya perubahan dengan melakukan perubahan dalam aspek strategis, tataran implementasi dan menentukan keberhasilan secara teratur.
Selain itu harus diperhatikan dampak lebih lanjut dari perubahan budaya Polri. Aspek kultural, Instrumental (Inspiration) dan kultural (Institution) tidak akan pernah lepas satu sama lain. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang akan saling mempengaruhi.
Berkembangnya isu penegakan supremasi hukum, penguatan makna hak asasi manusia, pengamalan proses demokratisasi, desentralisasi serta perwujudan aspek transparasi, akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara dan pelayanan publik justru hanya membuat hubungan masyarakat dan Polri acapkali kurang sehat. Sebagian masyarakat masih melihat Polri sebagai alat kekuasaan belaka. Perubahan paradigma Polri belum dipandang dan disikapi secara serius dan komprehensif oleh sebagian besar masyarakat. Paradigma baru Polri sebagai alat kontrol sosial serta secara ultimate sebagai ’social problem solver’ masih dianggap sebagai suatu hal yang teoritis, dan rethoris yang dilakukan Polri dalam mengikuti dan menjadi bagian dari perubahan jaman.
Dalam usaha menciptakan citra positif, Polri hendaknya menggunakan powernya dalam bentuk integratif. Aplikasi tugas penegakan hukum dalam ranah integratif mengandung pemahaman bahwa dalam internal Polri harus ditumbuhkembangkan suasana demokratis. Sedangkan keluar, Polri harus menempatkan dirinya sejajar dengan masyarakat, tidak lebih tinggi dang tidak lebih rendah. Kesalahan dalam positioning akan menjadikan Polri cenderung terjerumus pada abuse of authority bila posisinya lebih tinggi serta tidak akan optimal melaksanakan fungsinya sebagai pemelihara keamanan, ketertiban, penegakan hukum, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat bila posisinya lebih rendah. Sebagai konsekuensi logis dari posisi kesetaraannya dengan masyarakat, pengkreasian suasana aman dan terciptanya ketertiban masyarakat harus dicapai dan didasarkan pada supremasi hukum, transparasi dan keterbukaan, pembatasan dan pengawasan kewenangan, menjamin tegaknya HAM serta mendasarkan pelayanannya pada masyarakat yang dilayaninya. Polisi yang ideal adalah yang sesuai dengan masyarakatnya.
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter