-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Budaya Polri

Atang Setiawan

Kebudayaan Polri ini antara yang ideal atau yang sebagaimana yang seharusnya seperti yang tertuang dalam Tri Brata, Catur Prasetya, Kode Etik, Pedoman Pelaksanaan maupun Petunjuk-Petunjuk Pelaksanaan dapat berbeda bahkan bertentangan dengan yang aktual atau yang dijadikan acuan ataupedoman oleh para petugas kepolisian. Dan tentu ini mempengaruhi citra Polri dalam masyarakat. Polri merupakan institusi negara untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat sekaligus sebagai aparat penegak hukum yang dapat dipercaya bila menyimpang atau melakukan tindakan yang sebaliknya maka penghormatan atau kepercayaan dari masyarakat kepada Polri akan berbalik menjadi hujatan dan ketidak percayaan. Ini merupakan kebangkruan dan social costnya sangat mahal yang harus dibayar oleh Polri.
Apa yang sekarang ini terjadi? Kebudayaan yang ideal tidak sama bahkan bertentangan dengan yang aktual. Nilai-nilai kemanusiaan sebagai acuan Polri sekarang ini tak jarang diabaikan bahkan dilupakan dan yang diagung-agungkan oleh kebanyakan para petugas kepolisian adalah nilai-nilai materialistis, hidonis dan memuja uang. Dan hal tersebut dianggap biasa-biasa saja, atau sebagai kewajaran atau sebagai sikap yang permisif karena Polri serba terbatas dan penuh dengan kekurangan. Pemujaan terhadap hal-hal yang hidonis atau materialistis tersebut juga dapat ditunjukan dengan adanya jabatan basah dan kering dalam institusi Polri.
Seorang anggota Polri akan merasa berbangga hati dan seolah mendapat rahmat atau kepercayaan dari pimpinan bila di tempatkan pada posisi yang dianggap basah. Pada posisi jabatan tersebut yang bersangkutan mempunyai kewenangan dan kesempatan untuk melakukan tindakan-tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh petugas polisi, namun dilakukanya demi mendapatkan sesuatu imbalan yang dapat digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhanya baik perorangan maupun kelompok. Tentu yang dibutuhkan atau sikap yang ditonjolkan atau tindakan yang diutamakan adalah loyalitas kepada atasan secara personal, walaupun tindakannya akan menyusahkan atau menyengsarakan orang lain. Dengan berbuat demikian maka yang bersangkutan akan aman, dianggap dapat mengamankan kebijakan pimpinan, loyal dan pasti ini akan terhormat dan menjadi idola bagi rekan-rekan ang lainya. Sedangkan yang berseberangan atau yang kritis atau yang bertindak benar sebagai mana seharusnya seorang polisi kadang kala justru mengalami penghinaan atau diabaikan dan ditempatkan di tempat yang dianggap kering, atau susah mendapatkan uang tambahan di luar gajinya. Dan tentu yang bersangkutan akan dilabel tidak loyal, tidak mumpuni yang juga sering dihambat kariernya.
Tantangan sentral yang dihadapi oleh organisasi Polri dewasa ini, yang diperkirakan akan terus berlanjut ke masa depan, adalah membuat organisasi dengan segala perangkatnya menjadi organisasi yang lebih baik. Pada dasarnya yang dimaksud dengan organisasi yang lebih baik adalah organisasi yang semakin tinggi tingkat efektivitasnya dalam upaya organisasi yang bersangkutan dalam mencapai tujuan dan berbagai sasaran serta strateginya.
Polri merupakan sebuah organisasi yang dinamis dengan segala kompleksitasnya, baik secara internal dalam organisasi maupun secara eksternal dalam arti interaksinya dengan lingkungan sekitanya baik dengan instansi maupun masyarakat. Organisasi Polri selalu dalam posisi cair, dalam arti bahwa organisasi Polri dituntut terus berubah dan bahkan manakala berada dalam situasi ketidakseimbangan. Karena itu pengenalan berbagai factor yang menjadi penyebab timbulnya tuntutan mewujudkan perubahan terencana merupakan aspek penting dalam kehidupan organisasi Polri.
Setiap organisasi merupakan suatu system yang khas serta mempunyai kultur yang khas pula, tidak kecuali dengan organisasi Polri. Kultur organisasi Polri merupakan bagian dari kultur masyarakat maupun kultur Negara Indonesia. Kultur organisasi Polri dimaksudkan sebagai nilai yang dianut bersama oleh seluruh personel Polri dalam kehidupan organisasi. Kultur organisasi akan menentukan: apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota organisasi (personel Polri); batas-batas perilaku; sifat dan bentuk pengendalian dan pengawasan; gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi (personel Polri); wahana memelihara stabilitas social dalam organisasi. (Sondang Siagian, 2004, hal. 27).
Karena itu, semakin kuat kultur organisasi, maka akan semakin mantap pula kesepakatan bersama sebuah organisasi, termasuk organisasi Polri. Melalui sosialisasi, kultur organisasi Polri akan melembaga sedemikian rupa terhadap keberadaan organisasi Polri tersebut di mata masyarakat. Kultur organisasi Polri berperan dalam menentukan struktur dan berbagai kebijaan yang membuahkan perilaku personel Polri. Berhasil tidaknya organisasi Polri mempertahankan dan melanjutkan eksistensinya sangat tergantung pada tepat tidaknya strategi organisasi Polri tersebut yang menyangkut seluruh aspek organisasi.
Kultur memainkan peran yang dominan dalam menciptakan organisasi Polri yang efektif sehingga mampu mencapai tujuan dan berbagai sasarannya dalam memberikan pelayanan, perlindungan dan pengayoman terhadap masyarakat. Kultur organisasi Polri berpengaruh terhadap cara menyesuaikan bebagai permasalahan yang timbul, juga dalam menentukan cara yang tepat guna melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat sebagai steak holder.
Dalam dunia yang berubah dengan pesat, agar tetap berada pada siatuasi yang kompetitif, organisasi Polri harus berani melakukan perubahan dengan meningkatkan efektifitas dan fleksibilitas serta kemampuan personelnya. Perubahan yang terjadi, menyangkut peningkatan pelayanan kepada masyarakat dengan mempercepat dan tanggap dalam orientasi pelayanannya. Karena perubahan tersebut sangat mendasar sehingga organisasi Polri harus mengubah kulturnya.
Reformasi Polri hanya mungkin eksis jika ada dukungan masyarakat. Tanpa itu, perubahan kultur pribadi anggota (karakter polisi) khususnya yang diduga korupsi, menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang, keliru menggunakan diskresi, memberikan pelayanan yang buruk, atau melakukan tindakan diskriminatif dalam pelayanan-, mustahil dapat dilaksanakan. Dalam kaitan itu kita melihat, betapa di tengah bulatnya tekad pengabdian, pelayanan, dan pengayoman masyarakat oleh anggota dan institusi Polri, tidak sedikit ditemukan "fakta" yang disebut publik sebagai "polisi nakal". Polisi macam itu eksis, lantaran karakter pribadi bhayangkaranya tidak terpantau masyarakat. Di samping, yang jauh lebih penting, tidak secepatnya menerima sanksi administrasi dan hukum oleh atasan.
Reformasi Polri merupakan prasyarat mutlak guna meniadakan justifikasi publik atas kekuasaan yang berlebihan. Sebab, jika justifikasi publik atas kewenangan yang berlebihan dibiarkan tersebar ke mana-mana, akan mendorong tumbuh serta berkembangnya kesan umum berupa superbody-nya Polri. Kesan demikian sama sekali tidak menguntungkan, karena Polri punya batas kewenangan -di tengah luasnya wewenang yang dimiliki- sebagaimana diatur UU 2/2002.
Reformasi Polri mutlak dibutuhkan, karena dengan itu akan terwujud kinerja kepolisian tentang apa, bagaimana, dan sejauh mana setiap anggota boleh dan tidak boleh berbuat. Reformasi Polri membuka wacana bagi setiap orang yang menyandang status polisi atas boleh tidaknya pribadi yang bersangkutan melakukan pengaturan sikap serta perilaku seseorang atau sejumlah orang lain dalam situasi konflik. Tertutama jika situasi konflik tersebut dapat mengganggu keamanan dan ketertiban orang lain di sekitarnya.
Perubahan kultur pribadi polisi, tepatnya perubahan karakter setiap anggota sebagai salah satu sasaran reformasi, merupakan prasyarat mutlak terbentuknya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian di Tanah Air. Sebab, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan kepemimpinan lembaga-lembaga formal penegak hukum, khususnya kepolisian, merupakan penyebab kegagalan reformasi Polri secara keseluruhan.
Realisasi reformasi Polri, membutuhkan kontrol publik. Tanpa kontrol masyarakat, kedekatan permukiman warga dan pusat kegiatan awam dengan tempat bertugas polisi, disertai kewenangan polisi yang sedemikian luas, akan dapat membuka peluang polisi untuk bisa menyalahgunakan kekuasaannya. Tanpa kontrol publik, tidak sedikit oknum polisi dengan gampangnya bisa melakukan tindakan korupsi, memberikan pelayanan yang buruk, serta tindakan diskriminiatif. Selain itu, dapat seenak hati menerapkan diskresi, sehingga -sekalipun dibenarkan oleh hukum- melanggar hak asasi manusia (penggunaan diskresi yang keliru).
Di sisi lain, ketatnya kontrol publik atas karakter anggota Polri pada umumnya, akan mendorong atasan (pimpinan secara berjenjang) menjatuhkan sanksi administratif dan tindakan hukum bagi anggotanya yang nakal. Sebab, jika setiap jenjang komando di tubuh Polri -mulai tingkat Polsek, Polres, Poltabes, Polwiltabes, Polda, hingga Mabes- membiarkan anak buahnya nakal, cepat atau lambat masyarakat akan menjauhi polisi. Termasuk dalam kategori polisi nakal adalah polisi yang berpenampilan militeristik dan arogan dalam bertugas. Kultur militeristik polisi, bukan zamannya lagi. Demikian pula polisi bergaya arogan.
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter