-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Penegak Hukumpun Pelaku Kejahatan

Atang Setiawan

Polisi dan Jaksa.
Saat ini kita sedang disuguhi dengan pemberitaan tentang kejahatan yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri. Lihat saja kasus narkoba yang melibatkan pelaku dari kalangan polisi dan kejaksaan. Demikian pula pada kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain yang melibatkan anggota kepolisian dan kejaksaan. Dambaan masyarakat untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari aparat kepolisian dan kejaksaan kini semakin jauh. Mungkin saja jajaran kepolisian dan kejaksaan sudah melakukan langkah-langkah yang didambakan masyarakat. Namun kenyataannya, ada tren para pelaku kejahatan itu justru polisi dan jaksa atau orang-orang yang berpenampilan seperti mereka. Sulit dibayangkan di mana lagi rasa aman jika mereka yang seharusnya melindungi dan menjaga keamanan masyarakat setiap harinya justru menjadi pelaku kejahatan: merampok, menembak, dan melukai korbannya. Ketakutan jadi semakin melekat di benak masyarakat, rasa aman dan terlindung semakin jadi mimpi semata.
Setiap terjadi tindak pidana seperti kejahatan narkoba di mana korban atau saksi yang memperhatikan kejadian tersebut menyatakan pelakunya sebagai polisi atau jaksa yang bermain. Masyarakat menghujat dan menuntut institusi kepolisian atau kejaksaan atas terjadinya tindak kejahatan terkait. Warga masyarakat tidak mau tahu, apakah pelaku benar-benar anggota kepolisian atau kejaksaan.
Biasanya, ketika ada tuduhan anggota polisi atau jaksa terlibat suatu tindak pidana, para kepala institusi buru-buru menyatakan, belum tentu polisi atau jaksa sebagai pelakunya. Kalaupun "mengakui", mereka akan menyatakan pelaku sebagai "oknum" polisi atau jaksa. Padahal, bagi warga masyarakat, pakai label oknum atau tidak, sama saja. Faktanya, mereka menjadi korban kejahatan yang dilakukan polisi atau jaksa. Harapan dan tuntutan masyarakat bahwa polisi dan jaksa harus melindungi mereka, membuat masyarakat tidak bisa menerima penjelasan bahwa pelaku memang belum tentu polisi atau jaksa.
Polisi dan jaksa memang bukan dewa kebaikan yang bebas dari kejahatan. Mereka manusia biasa. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan jika polisi atau jaksa menyimpang dari tugas dan tanggung jawabnya. Sejumlah kasus memang menunjukkan, jika jaksa dan polisi kini semakin sering menjadi pelaku kejahatan. Tertangkapnya anggota polisi dan jaksa di Jakarta Utara yang menjadi pelaku pengedar narkoba disusul dengan terlibat dan ditangkapnya pejabat kepolisian dan pejabat KPK yang notabene anggota kejaksaan dalam kasus pembunuhan, memperkuat dugaan masyarakat bahwa polisi dan jaksa ada di belakang beberapa kasus kejahatan yang menimpa warga.
***
Polisi dan Tentara.
Dari data kasus yang dilaporkan korbannya ke polisi, sebagian pelaku kejahatannya adalah polisi atau tentara. Selain saat beraksi pelaku mengaku sebagai polisi, pelaku juga mengeluarkan lencana kewenangan polisi. Bahkan, pelaku kejahatan ada yang sempat membawa korbannya ke halaman kantor polisi atau menodongkan pistol organik yang dimiliki polisi.
Selain itu, banyak pula korban perampokan berkeyakinan pelakunya tentara karena pelaku bertubuh tegap dengan rambut potongan cepak atau karena pelaku menodong dengan FN-nya. Mereka yakin pistol itu jenis FN karena bentuknya yang "kotak" atau pelaku sempat mengokang pistol terkait. Dari beberapa kasus, di lokasi peristiwa ditemukan selongsong peluru, yang menjadi salah satu ciri khas sebuah peluru sudah ditembakkan dari pistol FN. Karena jenis pistol ini menjadi pegangan tentara, mereka tidak mau percaya bahwa selongsong peluru itu keluar dari pistol FN yang bukan standar tentara.
Marak dan melebarnya tindak kriminal yang dilakukan polisi atau tentara merupakan refleksi dari suatu kontrol atau sistem yang makin melemah dari polisi dan tentara. Jika polisi dan tentara mempunyai kontrol yang efektif, kemungkinan terjadi tindak kriminalitas oleh polisi atau tentara akan kecil. Lebih dari itu, jika sistem kontrol polisi dan tentara efektif, lembaga tersebut tidak akan mudah disusupi sedemikian rupa. Setiap orang yang akan mencoba, semisal menyamar sebagai polisi atau tentara, dengan sendirinya dia akan takut melakukan upaya-upaya tersebut. Pasalnya, sanksinya akan berat sekali dan tidak semua orang akan bisa melakukannya.
Kriminalitas dengan pelaku menyamar sebagai polisi atau tentara, bisa diduga jika pelaku juga "mencuri" otoritas istimewa yang dimiliki polisi atau tentara. Otoritas itu adalah hak istimewa (privilege) polisi maupun tentara yang diberikan masyarakat karena fungsinya. Polisi dan tentara adalah suatu kedudukan eksklusif secara hukum memiliki fungsi-fungsi khusus, yang bisa mereka lakukan, tetapi orang sipil tidak bisa. Seperti menangkap orang (khusus pada polisi) dan memiliki senjata api.
Maraknya kriminalitas dengan pelakunya diindikasikan sebagai polisi, jika memang benar-benar pelakunya bukan polisi, itu bertanda baik bagi polisi sebagai indikasi bahwa polisi memang dipercaya sebagai penjaga. Setelah mereka dipercaya sebagai penjaga, lalu banyak orang yang menyaru-nyaru sebagai polisi. Orang tidak mencari figure petugas imigrasi atau petugas bea cukai. Mereka tidak takut kepada petugas seperti itu. Dengan demikian, penjahat membaca ketakutan masyarakat akan polisi atau tentara dan mereka menyarunya.
Memang tidak tertutup kemungkinan, pelaku benar-benar aparat keamanan baik polisi maupun tentara. Indikasinya, ada polisi dan tentara yang dipidana sehingga membuktikan ada saja anggota polisi dan tentara yang nakal dan "kotor". Namun yang menjadi permasalahan penting adalah apakah nakal atau "kotor"-nya anggota polisi dan tentara itu sesuatu yang dibawa orang itu. Jika demikian, maka sistem penyaringan anggota kepolisian maupun tentara yang tidak bagus sehingga orang menjadi "kotor" setelah dia mengabdi sebagai polisi atau tentara.
Tidak bisa dimungkiri juga adanya polisi yang rusak karena sistem seleksi yang kurang ketat. Apalagi surat-surat sakti meloloskan seseorang yang tidak layak menjadi polisi bukan menjadi rahasia lagi, dan umum terjadi. Penyebab lainnya, ada kondisi di mana beberapa situasi kepolisian yang menempatkan orang menjadi cenderung nakal.
Sebagai contoh, semua orang tahu jika orang yang ditempatkan di bagian reserse atau lalu lintas, enggan pindah ke bidang yang non-reserse maupun non-lalu lintas. Sementara pimpinan di fungsi lainpun cenderung tidak mau menerima anak buah dari bagian reserse maupun lalu lintas. Pasalnya, di reserse maupun lalu lintas dikit-dikit dihargai dengan uang, sementara di Brimob (Brigade Mobil) misalnya, orang menghargai sekali kemampuan semangatnya. Semuanya memang berujung pada uang. Repotnya, uang pulalah yang membuat hukum dan banyak para penegak hukum negeri ini bertindak atas nama uang.

Jakarta, 7 Mei 2009
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter