-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Kejahatan Saat Pemilu

Oleh:
Atang Setiawan


1. Pendahuluan
Mencermati situasi menjelang Pemilu 2009, berbagai indikasi yang cukup siginifikan menyatakan bahwa terdapat ancaman yang sangat serius dalam proses demokratisasi di Indonesia tersebut. Indikasi-indikasi tersebut bukanlah suatu hal yang berlebihan, melainkan suatu realitas objektif dalam proses kematangan demokrasi yang sedang bergulir.Pengalaman Pemilu 2004 diyakini oleh sebagian besar masyarakat bangsa Indonesia sebagai tahun pencerahan yang akan membawa perubahan baru bagi bangsa dan rakyat bangsa Indonesia. Karena pada Pemilu 2004 telah memilih para pemimpin bangsa secara langsung dengan kondisi keamanan yang tetap terjaga dengan baik. Sehingga harapan dan keyakinan sebagian besar masyarakat Indonesia tahun 2004 sebagai awal pencerahan baru bagi tatanan Indonesia yang lebih baik sesungguhnya tidaklah berlebihan.
Dalam kondisi bangsa yang sedang membangun demokrasi, partai politik sejatinya berperan sebagai wadah bagi pelembagaan kepemimpinan yang demokratis, bukan pelembagaan bagi kepemimpinan personal. Partai politik semestinya menciptakan suasana demokratisasi yang elegan, bahwa kebijakan lahir dari hasil representasi kepentingan rakyat. Partai politik sejatinya juga harus menjadi media pendidikan politik bagi masyarakat, bukan sebaliknya, menjadi wadah eksploitasi politik masyarakat demi suatu ambisi dan kepentingan. Di sisi lain, partai politik juga harus mencerminkan miniatur pluralitas masyarakat dan sekaligus sebagai pengendali konflik ditengah pluralitas tersebut. Dari dimensi politisi partai politik, merosotnya etika dan moralitas politik elite ke titik yang paling rendah, ini yang paling mengkhawatirkan sekaligus membuat pesimisme akan terwujudnya masyarakat Indonesia yang beradab, aman dan tentram.
Dalam seluruh proses tarung politik ini akan terjadi pertikaian internal dan eksternal antarpartai politik dan atau antarkader dalam partai politik itu sendiri. Gejala pertikaian ini telah muncul ke permukaan dengan segala bentuk manifestasinya. Saling gugat dalam menentukan nomor urut telah terjadi. Saling ancam antarpengurus partai telah terkuak. Bahkan saling rebutan kantor pun terjadi. Saling bakar bendera dan nama partai pun terjadi. Seturut dengan itu, massa pendukung partai dan individu calon anggota legislatif juga akan terseret dalam pertikaian, yang bisa berujung perusakan, penganiayaan dan kekerasan fisik serta upaya-upaya pihak lain yang berusaha untuk menggagalkan Pemilu 2009.
Dalam seluruh tahapan pertarungan politik itu, aparat Polri ditempatkan sebagai penegak hukum sekaligus penjaga ketertiban masyarakat. Dalam konteks politik yang kian memanas menjelang pemilu, Polri selain menjaga netralitas agar tidak menjadi sasaran tembak atau diseret oleh partai-partai politik juga menjaga profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya yang berhubungan dengan penegakan hukum dalam seluruh proses sengketa dan konflik dalam prosesi politik nasional ini. Saat ini jajaran kepolisian dihadapkan pada perubahan politik yang cepat, melebih daya kemampuan jajaran kepolisian mengimbanginya. Meskipun demikian, Polri berupaya menggunakan segala daya yang dimiliki Polri. Peran Polri diharapkan peranannya oleh semua pihak dalam menjaga seluruh proses Pemilu. Sebagai kesatuan yang membidangi permasalahan kejahatan khusus dan perekonomian, Dit Reskrimsus berperan penting dalam upaya mengantisipasi maupun menindak para pelaku kejahatan yang mengancam berlangsungnya Pemilu 2009 secara aman.
Polri berfungsi dan tugas pokok sebagai penjaga ketertiban umum dan penegakan hukum dalam seluruh proses Pemilu 2009. Karena itu pula tugas aparat kepolisian adalah mengamankan individu, masyarakat, dan penyelenggaraan pemerintahan. Obyek atau sasaran tugas polisi adalah para pelanggar hukum yang berupaya melakukan pelanggaran pemilu dan upaya penggagalan pemilu. Dengan fungsi, tugas, dan obyek tindakan polisi seperti itu, keputusan dalam mengambil tindakan atas terjadinya pelanggaran hukum atau keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) melekat pada setiap diri anggota Polri (Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 2/2002). Atau, dengan kata lain, seorang anggota polisi (pemimpin polisi di lapangan) secara prinsip dapat mengambil tindakan ketika terjadi pelanggaran hukum/kamtibmas tanpa menunggu perintah dari atasan. Untuk itu, jajaran kepolisian diberi kewenangan menggunakan alat kekuatan. Saat ini jajaran kepolisian dihadapkan pada perubahan politik yang cepat, melebih daya kemampuan jajaran kepolisian mengimbanginya.

2. Waspadai Kejahatan "Cyber" Saat Pemilu
Kejahatan cyber merupakan bentuk kejahatan masa depan yang harus lebih diwaspadai seiring perkembangan teknologi dan meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia. Menjelang pemilihan umum, kemungkinan terjadinya kejahatan cyber harus diantisipasi maksimal. Seiring perubahan tatanan kehidupan dunia yang semakin bertumpu pada teknologi, kejahatan cyber menjadi semakin niscaya merebak di tengah masyarakat. Kejahatan cyber akan makin luas, tapi ancaman kejahatan cyber itu tidak disadari masyarakat dan pemerintah sendiri. Kita masih melihat kejahatan secara fisik, baru muncul rasa takut atau terancam. Orang, misalnya, masih mengasosiasikan orang bertampang sangar dengan kejahatan. Kejahatan cyber memiliki karakteristik no fear of crime atau tidak menimbulkan rasa terancam. Padahal, dampak kejahatan cyber itu bisa sangat fatal dan destruktif. Terlebih, korban kejahatan cyber tidak hanya individu, tetapi juga bisa melumpuhkan suatu negara. Pemerintah dan seluruh aparat penegak hukum, dari polisi, jaksa, hingga hakim, harus lebih menyadari ancaman laten kejahatan cyber. Sebab, segala bentuk kejahatan terus bertransformasi menjadi kejahatan cyber. Mulai dari sekadar iseng membobol sistem, kejahatan seksual, pornografi anak, perdagangan narkoba, penipuan, perjudian, pencurian data, hingga terorisme.
Menjelang pemilu, kejahatan cyber harus diantisipasi sebaik mungkin. Karena itu, soal sistem teknologi di Komisi Pemilihan Umum harus serius ditangani. Jangan lagi berorientasi proyek supaya tidak celaka. Pelaku cyber crime selalu merasa tertantang untuk coba-coba. Catatan kepolisian menunjukkan, tahun 2006-2008 polisi telah menggiring sedikitnya 20 perkara kejahatan cyber ke pengadilan. Namun, pelaku perkara tersebut kerap divonis hukuman yang relatif ringan sekalipun nilai kerugiannya sangat besar. Dengan adanya pengakuan tentang digital evidence (bukti digital) secara lebih tegas dalam Undang-Undang ITE, mudah-mudahan pengadilan bisa menjatuhkan vonis lebih proporsional. Bukti digital dalam persidangan kerap dituntut untuk ditampilkan secara fisik. Hal itu kadang menjadi tidak efisien. Di negara maju, majelis hakim bisa menerima bukti digital yang ditampilkan di persidangan dengan dipamerkan secara virtual. Sejauh ini pelaku kejahatan cyber asal Indonesia telah memakan korban di empat benua, yaitu Amerika, Eropa, Asia, dan Australia. Mereka juga kerap mengadu ke Kedutaan Besar RI di negara tersebut.
Kejahatan cyber di Indonesia ternyata masih tergolong tinggi meski telah ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UITE). Praktik kejahatan lewat dunia maya di Indonesia banyak dikeluhkan oleh sejumlah negara. Para pelaku kejahatan menggunakan jalur internet untuk memperkaya diri.Bentuk kejahatan cyber yang paling banyak terjadi adalah penipuan, kejahatan seksual dan pornografi anak. KIni disinyalir banyak kejahatan terorisme yang menggunakan internet untuk melakukan pengintaian korban dan bertransaksi alat-alat pengeboman. Dari data yang dihimpun Sat Cyber Crime Polda Metro Jaya telah terkumpul laporan kejahatan cyber dari berbagai negara. Sayangnya laporan yang masuk tidak dapat ditindaklanjuti semua karena sejumlah korban - yang rata-rata tinggal di manca negara - tidak bisa datang ke Indonesia. Modus kejahatan terbaru adalah penipuan berkedok transaksi barang lewat situs. Korban adalah warga negara asing yang melakukan pembelian barang. Setelah melakukan transfer uang melalui bank, ternyata barang kiriman tidak pernah diterima korban. Pelaku telah melakukan kejahatan cyber sejak lama. Maka para pemilik Toko Online dan para pengusaha yg bergerak di e-commerce diharap berhati-hati dalam melakukan transaksi dengan pelanggan, bisa memanfaatkan layanan paypal demi keamanan customer dan pemilik toko online. Terutama saat transaksi pembayaran menggunakan kartu kredit. Lalu waspada pula spyware, phising dan pencurian data customer.Apakah pemerintah akan membuat semacam cyber patrol untuk menangggulangi cybercrime di Indonesia?
Indonesia telah memiliki UU yang mengatur penyimpanan informasi elektronik dalam jangka waktu tertentu, penyebaran informasi elektronik, dan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual secara lebih detail. Untuk menangani kasus-kasus kejahatan dunia maya, negara harus melakukan penyempurnaan hukum pidana nasional beserta hukum acaranya yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut. Selain itu tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai beberapa standard internasional. Wujud partisipasi aktif masyarakat juga diperlukan untuk mencegah kejahatan dunia maya selain itu negara juga perlu meningkatkan kerja sama bilateral, regional maupun multilateral dalam upaya penanganan cyber crime antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.
Pemanfaatan internet dan teknologi informasi dalam Pemilu 2009 menjadi sebuah sarana untuk memudahkan proses administrasi pemilu. Untuk menjamin keamanannya maka diperlukan sistem pengamanan yang sangat ketat dari serangan para hecker. Karena itu teknisi yang menjadi operator pemilu harus bekerja keras untuk memastikan tidak ada informasi penting yang berhasil diraup penjahat cyber dalam serangan itu. Masalah ini memang cukup mengkhawatirkan mengingat pelaksanaan Pemilu 2004, situs KPU dapat dibobol oleh hacker. Ancaman berupa pembobolan data komputer dilakukan oleh hacker yang berusaha mencuri informasi mengenai perkembangan pemilu serta berupaya merusaknya untuk menggagalkan pemilu. Dalam kaitan dengan adanya penjahat cyber, Sat Cyber Crime Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya sejak dini melakukan cyber patrol guna mendeteksi adanya para hacker yang dapat mencuri informasi dengan cara membobol situs KPU maupun situs partai politik.
Menjelang pemilu, kejahatan cyber harus diantisipasi sebaik mungkin. Karena itu, soal sistem teknologi di Komisi Pemilihan Umum harus serius ditangani. Jangan lagi berorientasi proyek supaya tidak celaka. Pelaku cyber crime selalu merasa tertantang untuk coba-coba menggagalkan pemilu.

3. Pelanggaran dan Perselisihan Pemilu
Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) yang meliputi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dengan lain perkataan, penyelenggaraan Pemilu yang didasarkan pada asas “luber” dan “jurdil” tersebut diharapkan dapat terlaksana dengan baik, lancar, dan sukses.
Kondisi ideal (das sollen) yang diharapkan dalam penyelenggaraan Pemilu ini rupanya tidak selalu sesuai dengan kenyataan (das sein), karena tidak jarang penyelenggaraan Pemilu yang sudah dan sedang berlangsung dihadapkan pada berbagai persoalan yang pada akhirnya harus berujung di pengadilan. Ironisnya, proses penyelesaian yang dilakukan pengadilan pun tidak selalu mengakhiri persoalan, justeru sebaliknya semakin memperuncing masalah dan memicu ketidakpuasan berbagai pihak.

a. Pelanggaran Pemilu
Berdasarkan praktek yang terjadi pada beberapa pelaksanaan Pemilu yang sedang dan telah berlalu, setidaknya ada dua masalah atau sengketa dalam Pemilu yaitu pelanggaran Pemilu dan perselisihan Pemilu. Pelanggaran Pemilu dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu pelanggaran administrasi Pemilu dan pelanggaran pidana Pemilu.
UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD memberikan rumusannya, menurut Pasal 248 UU No. 10/2008, pelanggaran administrasi Pemilu dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU. Bila ditelaah lebih jauh maksud bunyi Pasal 248 tersebut, maka pelanggaran administrasi Pemilu khusus Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat dibagi lagi menjadi pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini selain pelanggaran terhadap ketentuan pidana dan pelanggaran terhadap ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU.
Beberapa bentuk pelanggaran administrasi Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang merupakan pelanggaran terhadap UU No. 10/2008 (tapi bukan pelanggaran ketentuan pidana), meliputi antara lain:
1) Penggunaan data palsu atau data yang sengaja digandakan oleh bakal calon anggota DPD terkait dengan dokumen persyaratan dukungan minimal pemilih (Pasal 68 ayat 3);
2) Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan (Pasal 84 ayat 1 huruf h);
3) Penggunaan atribut partai atau atribut pegawai negeri sipil oleh pegawai negeri sipil yang menjadi peserta kampanye (Pasal 84 ayat 4); dan lain sebagainya.
Pelanggaran terhadap ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU, sampai sejauh ini belum ada peraturan KPU yang memuat ketentuan tentang pelanggaran administrasi Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD selain yang sudah diatur dalam UU No. 10/2008.

b. Perselisihan Pemilu
Peraturan perundang-undangan tentang Pemilu khususnya UU No. 10/2008 secara khusus membatasi perselisihan Pemilu hanya pada perselisihan yang menyangkut hasil Pemilu atau perselisihan hasil Pemilu, yang diartikan sebagai perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional yang dapat mempengaruhi peroleh kursi Peserta Pemilu (Pasal 258 Ayat 1 dan 2).
Pada intinya, perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan peroleh suara hasil Pemilu yang dapat mempengaruhi peroleh kursi peserta Pemilu dan/atau terpilihnya pasangan calon peserta Pemilu.
Sekalipun UU No. 10/2008 hanya mengenal 1 (satu) bentuk perselisihan yaitu perselisihan hasil Pemilu, namun dalam kenyataannya banyak perselisihan diluar perselisihan hasil Pemilu yang diajukan ke Pengadilan –yang lebih dikenal dengan perselisihan proses/tahapan Pemilu— misalnya perselisihan akibat tidak ditetapkannya pasangan calon sebagai peserta Pemilu oleh KPU, perselisihan akibat ditetapkannya Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh KPU yang cacat hukum, dan perselisihan akibat tidak dihormatinya proses hukum di Pengadilan Tinggi yang sedang memeriksa perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh KPU.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perselisihan atau sengketa Pemilu meliputi tidak hanya perselisihan hasil Pemilu tapi juga perselisihan tahapan/proses Pemilu yang timbul akibat ketidakpuasan atau keberatan peserta Pemilu terhadap keputusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU

4. Penyelesaian Sengketa Pemilu.
Bentuk penanganan perselisihan Pemilu dilakukan berdasarkan sifat perselisihannya, apakah perselisihan hasil Pemilu atau perselisihan dalam proses/tahapan Pemilu. Bila yang terjadi adalah perselisihan hasil Pemilu, maka proses penyelesaiannya dilakukan dengan mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan ke Mahkamah Konstitusi untuk perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Putusan pengadilan atas perselisihan hasil Pemilu yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung dalam hal keberatan diajukan atas hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dan Pengadilan Tinggi dalam hal keberatan diajukan atas hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota, adalah keputusan pada tingkat pertama dan terakhir atau bersifat final dan mengikat (Pasal 4 Ayat 5 PERMA No. 2/2005), sehingga tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh kecuali upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK). Dengan demikian, apabila Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, maka KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagai pihak yang dikalahkan dapat mengajukan upaya hukum PK ke Mahkamah Agung. Namun berbeda bila putusan atas sengketa hasil Pemilu dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi –yang juga berwenang memeriksa dan memutus sengketa hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pasca revisi UU No. 32/2004— tidak dimungkinkan adanya upaya hukum mengingat putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (Pasal 47 UU No. 24/2003).
Bila yang terjadi adalah perselisihan dalam proses/tahapan Pemilu, maka ada 2 (dua) kemungkinan bentuk penanganan yang bisa dilakukan yaitu penyelesaian melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative disputes resolution (ADR) atau mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan baik Pengadilan Negeri maupun Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Penyelesaian perselisihan Pemilu melalui ADR merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 UU No. 30/1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa). Sedangkan penyelesaian perselisihan Pemilu melalui pengadilan dilakukan dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan, yaitu ke pengadilan negeri dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum (onrechtsmatige daad) atau perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtsmatige overheids daad) atau ke Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal ada sengketa akibat diterbitkannya putusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang merugikan seseorang atau badan hukum.
Dalam kedua bentuk penyelesaian di atas, dengan mengingat latar belakang timbulnya perselisihan Pemilu, hampir dapat dipastikan bahwa KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota akan selalu menjadi pihak yang digugat (Tergugat) sedangkan peserta Pemilu akan menjadi pihak yang menggugat (Penggugat). Dalam menghadapi kedua bentuk penyelesaian ini, masing-masing pihak dapat secara langsung menjadi pihak dengan menghadiri sendiri persidangan atau meminta bantuan Advokat/Pengacara untuk mewakilinya di Pengadilan.

5. Penutup.
Meskipun demikian, Polri khususnya Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya dengan menggunakan segala daya yang dimiliki berupaya bergerak cepat dengan sekaligus meningkatkan daya pakai kapasitas yang dimiliki jajaran kepolisian untuk menghindari keterdadakan dan menghadapi ancaman upaya menggagalkan pemilu sesuai dengan fungsinya. Sekarang ini Polri adalah lembaga yang paling diharapkan peranannya oleh semua pihak dalam menjaga seluruh proses Pemilu 2009. Karena itu, Polri tidak ragu-ragu dalam menegakkan hukum terhadap semua bentuk pelanggaran hukum yang menjadi kewenangan polisi untuk menindaknya.
Apa pun bentuk pelanggaran dan perselisihan Pemilu yang akan terjadi, diharapkan semua pihak khususnya penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memahami benar mana yang merupakan pelanggaran Pemilu dan mana yang merupakan perselisihan Pemilu, mana yang merupakan pelanggaran administrasi Pemilu dan mana yang merupakan pelanggaran pidana Pemilu, mana yang merupakan perselisihan hasil Pemilu dan mana yang merupakan perselisihan dalam tahapan/proses Pemilu. Pemahaman ini penting guna menentukan langkah-langkah penyelesaian yang akan ditempuh, sehingga dampak lebih buruk akibat adanya masalah atau sengketa dalam Pemilu dapat diminimalisasi. Semoga.

Jakarta, 6 Pebruari 2009
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

1 comment

Anonymous said…
atang..............pendahuluannya kurang jelas tuh...
Subscribe Our Newsletter