-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Polisi...oh...Polisi


Oleh:
Atang Setiawan


Dibandingkan jaksa dan hakim, posisi polisi terhitung unik sekaligus kontroversial. Kalau jaksa dan hakim, paling banter berhadapan dengan terdakwa, sejumlah saksi, dan pengunjung sidang. Tapi polisi tak hanya menghadapi pesakitan, saksi, dan pengunjung sidang. Setiap saat, mereka berhadapan langsung, bahkan berbenturan dengan masyarakat.
Ini memang karena peran dan fungsi polisi lebih kompleks. Mereka menjadi penegak hukum sekaligus pelayan dan pelindung masyarakat. Posisi ini mengharuskan polisi punya gaya dan motif berbeda. Sebagai penegak hukum, mereka mesti siap berseberangan dengan masyarakat. Namun, sebagai pelayan dan pelindung masyarakat, mereka mesti berada di dekat rakyat.
Tak gampang sesungguhnya menjadi polisi. Berhadapan dengan masyarakat, mereka harus bersikap ramah dan bertindak bijak. Namun ketika berhadapan dengan penjahat, mereka harus selalu waspada. Tak jarang para reserse polisi bertugas di ambang bahaya. Nyawa atau setidaknya luka di tubuh taruhannya.
Namun, kenyataannya masyarakat menganggap fungsi polisi sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat terkontaminasi dengan kesan polisi yang membiarkan pelaku kejahatan, bahkan menjadi centeng atau beking. Sudah banyak kasus yang menunjukkan fenomena ini.
Berbagai perkara pidana juga acap “diobyekkan”, sehingga kepolisian dicap telah menjadi lembaga keuangan nonbank. Beberapa warga remaja yang tersangkut narkotika, misalnya, acap keluar-masuk sel tahanan polisi, setelah membayar sejumlah uang. Sementara itu maling ayam yang tak punya uang tetap disel, bahkan divonis berat oleh hakim. Tapi, koruptor ataupun penjahat kerah putih, karena mampu membayar, tak sampai ditahan, bahkan kasusnya bisa dimusyawarahkan.
Di jalanan, polisi identik pula dengan istilah “86” atau damai. Para pelanggar aturan lalu lintas bisa tak usah repot-repot ke pengadilan, kalau sudah menyelipkan uang ke polisi. Bahkan sejumlah mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) beberapa waktu lalu menghasilkan skripsi tentang korupsi di kepolisian. Korupsi disebutkan telah melembaga di segala lini dan tahapan tugas polisi.
Pigur seorang pemimpin di tubuh aparat kepolisian harus mampu mendorong perbaikan citra polisi secara kualitatif. Berbagai gebrakan internal maupun ekternal harus dilakukan dalam rangka membersihkan polisi yang melakukan pelanggaran dan "nakal" dan harus berkomitmen menyeret polisi ke pengadilan jika terbukti bersalah. Keberhasilan dalam membersihkan internal kepolisian akan menjadi poin tersendiri.
Setiap waktu pula upaya kepolisian untuk mendongkrak citra positif selalu berpacu dengan cemooh masyarakat. Mestinya pelbagai kejadian buruk bisa berkurang, apalagi polisi sudah dilepaskan dari TNI. Di masa transparansi, akuntabilitas, dan transisi demokrasi seperti sekarang ini, jajaran kepolisian dituntut untuk bisa membersihkan masalah korupsi tersebut. Sebagai salah satu institusi yang memiliki peran besar dalam proses pengamanan dan keamanan negara, Polisi Republik Indonesia (POLRI) masih perlu terus untuk berbenah diri menuju polisi yang profesional.
Bagaimanapun polisi yang benar-benar sipil dan profesional amat diharapkan.
Kalau korupsi bisa dikurangi, niscaya sebagian besar polisi bisa menjalankan tugas sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat yang baik. Bukankah dalam penanganan kasus pengeboman di Bali dan Hotel JW Marriott, kepolisian bisa menunjukkan kredit positif?
Seiring dengan itu semua, masih banyak harus dibenahi, dan tanggungjawab tersebut tidak hanya berada di tangan pihak pimpinan kepolisian tapi kita semua yang mencintai keberadaan polisi, seperti :
1. SDM yang masih belum seluruhnya profesional, suatu kondisi yang tidak terlepas dari manajemen rekrutmen, pendidikan, penempatan, promosi yang belum didasarkan semata-mata pada kualitas. Hal ini juga berkaitan erat dengan sistem pelatihan yang diperoleh ketika hendak menjadi polisi (terutama kurikulum dan alokasi waktu untuk pendalaman bahan yang masih belum memadai). Sebagai akibatnya, kemampuan di lapangan seringkali belum sebagaimana yang diharapkan. Sistem pendidikan yang masih mengedepankan para perwira sebagai top manager maupun middle manager (terutama pendidikan umum kedinasan / beasiswa), yang semestinya juga melibatkan para bintara yang notabene berhadapan langsung dengan pelayanan masyarakat. Sehingga dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh dan dimilikinya dapat mengimbangi kemampuan pendidikan masyarakat yang dihadapinya.
2. Sistem kompensansi atau penggajian yang jauh dari sufficient, dengan berbagai implikasinya pada pelaksanaan tugas polisi. Tidak jarang kecilnya gaji ini kemudian dijadikan justification untuk melakukan penyimpangan, walau kenyataannya tidak selalu kesulitan ekonomilah yang mendorong perilaku macam ini.
3. Mekanisme pengawasan yang belum sempurna. Lemahnya pengawasan semacam ini, mudah diduga, telah menimbulkan tingginya tingkat penyimpangan sebagaimana telah banyak ditengarai oleh media massa dan masyarakat umum.
4. Intervensi dari berbagai pihak terhadap kinerja kepolisian seringkali dikeluhkan.
5. Dukungan sarana dan prasarana yang belum memadai seringkali dijadikan justification atas kinerja yang kurang baik. Oleh karenanya kondisi ini harus diperbaiki untuk tegaknya supremasi hukum.
6. Ketentuan perundang-undangan yang masih rancu mengenai fungsi penyidikan dan penyelidikan tindak pidana tertentu. Masalah inipun harus segera mendapat penyelesaian agar tidak berlarut-larut, karena dapat menimbulkan friksi antar lembaga kepolisian dan kejaksaan maupun lembaga lain.
7. Budaya hukum yang terbentuk akibat sistem yang telah merasuk dan juga kurangnya integritas personel, yang dikenal sebagai police subculture.


Jakarta, 2 Agustus 2008
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter