PENANGANAN UNJUK RASA
(Analisa Hukum Dalam Transisi)
Unjuk Rasa
Unjuk rasa merupakan salah satu bentuk mengungkapkan pendapat di muka umum untuk menuntut atau menyampaikan tuntutan kepada penguasa. Berakhirnya era pemerintahan Orde Baru membawa pengalaman baru bagi masyarakat
Pemerintah dan aparatnya dalam menanggapi aksi-aksi yang dikategorikan sebagai "aman terkendali" itu pun tidak terlalu bersusah payah. Biasanya aksi tersebut akan usai tanpa harus ada upaya yang bersifat keras dan paksaan. Tentunya dengan syarat ada mekanisme penyaluran aspirasi mereka. Persoalan apakah aspirasi tersebut dipenuhi atau tidak, itu urusan lain.
Memang ada sejumlah kasus di mana aksi unjuk rasa disampaikan dalam kategori yang berbeda. Dengan
Permasalahan yang mengemuka seputar aksi unjuk rasa dan penanganannya adalah bagaimana sepatutnya perangkat hukum dan tindakan petugas penegak hukum menghadapi aksi unjuk rasa. Tindakan ini mencakup dari kesiapan undang-undang, personel dan peralatan, hingga ke tindakan di lapangan. Wujud dari tindakan persiapan ini adalah tersedianya personel penegak hukum, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai ujung tombak dengan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) jika personel Polri dirasa tidak memadai; tersedianya alat-alat yang mendukung tugas-tugas pengendalian massa secara memadai; serta adanya prosedur yang jelas dan tegas untuk membubarkan aksi unjuk rasa.
Memang sangat rumit menangani unjuk rasa. Belum lagi jika harus memperhatikan faktor keselamatan petugas maupun pengunjuk rasa. Karena bagaimanapun harus diantisipasi seandainya ada perlawanan atau tindakan yang membahayakan keselamatan pengunjuk rasa. Dalam menghadapi aksi unjuk rasa, institusi penanggung jawab keamanan menyediakan pasukan yang memadai secara jumlah maupun kecakapan untuk menghadapi aksi unjuk rasa
Hukum Responsif
Dalam buku Hukum dan Masyarakat dalam Peralihan; Menyongsong Hukum yang Responsif, Philippe Nonet dan Philip Selznick telah merumuskan sebuah konsep hukum yang dapat memenuhi tuntutan agar hukum dibuat lebih responsive terhadap kebutuhan sosial (Nonet dan Selznick, 1978). Philippe Nonet dan Philip Selznick membagi tiga tipe hukum antara lain :
a. Hukum Represif; adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang represif.
b. Hukum Otonom; adalah hukum yang berorientasi pada mengawasi kekuasaan represif.
c. Hukum Responsif; adalah hukum yang diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan.
Berkaitan dengan konsep hukum tersebut di atas, berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum telahh memberikan jaminan bagi masyarakat untuk dapat mengemukakan pendapatnya di muka umum dengan tertib dan damai. Sebelum ada undang-undang tersebut, persoalan menyampaikan pendapat di muka umum ini hanya diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Pasal itu menyebutkan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyampaikan pikiran serta tulisan dijamin oleh negara dengan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Namun, undang-undangnya sendiri tidak pernah dibuat oleh pemerintahan Orde Baru.
Dalam hal ini, PBB telah membuat konvensi tentang prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api oleh para pejabat penegak hukum. Konvensi ini telah ditandatangani oleh Polri ketika mengikuti sidang Interpol tahun 2000 di
Pejabat penegak hukum, dalam pembubaran perhimpunan yang sah tetapi nonkekerasan, harus menghindari penggunaan kekerasan. Jika hal itu tidak dapat dilaksanakan, harus membatasi kekerasan tersebut sekecil mungkin yang diperlukan. Dalam pembubaran perhimpunan yang keras, pejabat penegak hukum dapat menggunakan senjata api hanya jika sarana yang kurang berbahaya tidak dapat digunakan. Hanya dipakai sangat minimum serta dalam kondisi untuk membela diri atau orang lain dari ancaman luka parah/kematian, serta mencegah terjadinya tindak kejahatan besar.
Pemandangan yang seringkali terjadi kini adalah aksi demonstrasi yang berakhir dengan kekerasan. Polisi bentrok dengan demonstran. Unjuk rasa merupakan salah satu bentuk mengungkapkan pendapat di muka umum untuk menuntut atau menyampaikan tuntutan kepada penguasa. Berakhirnya era pemerintahan Orde Baru membawa pengalaman baru bagi masyarakat
a. Hukum Represif; adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang represif.
Ketika Presiden Suharto berkuasa, kawasan Monumen Nasional (Monas) terutama sekitar Istana Merdeka dikenal sebagai "Ring I". Jangankan demonstran, lalat pun ibaratnya tidak akan bisa masuk atau lewat ke kawasan Ring I tersebut. Ratusan tentara bersenjata lengkap dan tank-tank dikerahkan untuk menjaga kawasan tersebut. Bahkan, tenda-tenda militer yang dipasang di kawasan itu, membuat taman yang semestinya nyaman dan tenteram, menjadi mirip barak tentara. Selain Istana Merdeka, di kawasan Ring I itu terdapat sejumlah kantor pemerintah, seperti Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam), Kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam), dan sebagainya.
Sedangkan pada masa menjelang runtuhnya Orde Baru, aksi unjuk rasa mahasiswa semakin gencar dilakukan untuk menekan segera berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Aksi unjuk rasa yang semula dilakukan di kampus-kampus dengan penjagaan ketat dari aparat, pada akhirnya tidak dapat dibendung dan meluas ke luar kampus hingga ke gedung Dewan perwakilan Rakyat. Aksi unjuk rasa semakin anarkis karena adanya tekanan dari penguasa untuk meredam gejolak unjuk rasa. Sering kali unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa terjadi bentrok dengan aparat keamanan. Mahasiswa bersikeras untuk menyuarakan tuntutannya sedangkan penguasa tetap memerintahkan aparat keamanan untuk mempertahankan area-area yang tidak boleh digunakan sebagai tempat unjuk rasa. Adanya tarik-menarik kepentingan tersebut seringkali menimbulkan bentrok fisik antara
b. Hukum Otonom; adalah hukum yang berorientasi pada mengawasi kekuasaan represif.
Dalam aksi unjuk rasa
Berakhirnya era pemerintahan Orde Baru membawa pengalaman baru bagi masyarakat
Dalam menghadapi aksi unjuk rasa, institusi penanggung jawab keamanan menyediakan pasukan yang memadai secara jumlah maupun kecakapan untuk menghadapi aksi unjuk rasa
c. Hukum Responsif; adalah hukum yang diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan.
Pada saat ini di mana setiap orang bisa bicara apa saja dan di mana saja maka aksi unjuk rasapun seakan bisa dilakukan di mana saja. Tidak saja di depan kantor-kantor lembaga pemerintah, depan markas Dephankam, Gedung DPR/MPR, Bundaran HI sampai ke berbagai ruas jalan tol, yang akhirnya memacetkan lalu lintas dan merugikan masyarakat umum. Keinginan adanya sebuah lapangan khusus untuk berunjuk rasa telah dilontarkan berbagai kalangan. Aksi tanpa aturan seringkali cenderung mengarah anarkis. Pemerintah seharusnya membuat tempat khusus untuk berdemonstrasi agar para demonstran dapat menyuarakan aspirasinya secara lebih tertib. Beberapa lokasi yang pernah disebutkan antara lain sekitar Taman Monas, dan halaman Gedung DPR/MPR. Aparat Kepolisian sedia untuk "mengantar" para pengunjuk rasa, hal tersebut dimaksudkan untuk memberi semacam koridor agar para demonstran bisa tetap berunjuk rasa namun tetap tertib. Hal tersebut sesuai dengan pendapat William Evan yang mengatakan bahwa dalam hokum terdapat perlindungan yang efektif terhadap para pihak yang menjadi korban pelanggaran hokum (William Evan, Efektifitas Hukum sebagai Instumen Perubahan. 1968). Sesuai ketentuan undang-undang, para pengunjuk rasa yang akan melaksanakan kegiatan unjuk rasa diminta untuk melaporkan terlebih dahulu. Hal tersebut dimaksudkan agar aparat kepolisian bisa mengetahui dimana, kapan dan jalan mana yang akan dilalui oleh pengunjuk rasa. Aparat kepolisian akan mengantar dan mengawal jalannya aksi unjuk rasa sehingga dapat berjalan dengan tertib dan damai. Berbagai kalangan masyarakat umumnya memang merasa "bosan" terhadap aksi unjuk rasa apalagi sampai anarkis karena akan merusak sarana dan fasilitas umum.
Dalam hal ini, dalam menghadapi aksi-aksi unjuk rasa di
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 menyebutkan bahwa unjuk rasa tidak boleh dilaksanakan di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek vital nasional. Unjuk rasa pada hari besar nasional juga dilarang. Tentu saja, jika unjuk rasa melanggar ketentuan itu, maka polisi berhak membubarkan dengan beberapa ketentuan atau prosedur. Dalam menghadapi para pengunjuk rasa, pengunjuk rasa tidak semua patuh hukum atau ketentuan yang berlaku. Jika terjadi unjuk rasa yang anarki, maka aparat keamanan tidak segan-segan akan menindak para pengunjuk rasa yang berperilaku anarkis.
Referensi.
a. Prof. Dr. A.A.G. Peters, Kusriani Siswosoebroto, SH: Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta. Pustaka Sinar Harapan, 1988.
b. William Evan, Efektifitas Hukum sebagai Instumen Perubahan. 1968.
c. Kompas. Sabtu, 30 September 2000.
d. Kompas; Selasa, 23 Oktober 2001.
e. Suara Merdeka; Jumat, 17 Oktober 2003.
f. Suara Merdeka; 30 Januari 2001.
g. ANTARA; 5 April 2006.
h. Suara Pembaharuan; 15 April 2005.
i. Pikiran Rakyat; Senin, 06 Januari 2003
Post a Comment