-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Bagaimana Memperlakukan Korban Kejahatan?


Oleh :
Atang Setiawan


Kedudukan Korban Kejahatan
Bagi kita yang belum pernah menjadi korban kejahatan, mungkin tidak dapat membayangkan bagaimana merasakannya. Bagi yang pernah menjadi korban kejahatan, tidak ada rasa sakit yang paling dalam selain rasa sakit yang dialami para korban kejahatan. Rasa sakit atas peristiwa kejahatan bukan hanya saat peristiwa kejahatan berlangsung, lebih dari itu goresan-goresan ingatan akan peristiwa terjadinya kejahatan akan terus membayangi dan terasa sangat menyiksa.
Peristiwa kejahatan kekerasan menjadi momok menakutkan bagi para korban, apalagi peristiwa kekerasan tersebut tak pernah diungkap kebenarannya. Itulah kira-kira gambaran yang dialami para korban maupun keluarga korban kejahatan pada umumnya. Kadang kala penyidikan, penuntutan dan pengadilan terhadap pelaku kejahatan tetap berjalan, sejumlah pelaku diperiksa dan didakwa, meski akhirnya keadilan tidak berpihak kepada korban.
Pada proses pengadilan kadang terdakwa dibebaskan, sedangkan sebaliknya perjuangan korban untuk mendapatkan hak-haknya belum berhasil. Korban tetap korban yang merasakan sakit, cacat atau meninggal dunia sekalipun. Korban akan tetap mengingat akan peristiwa terjadinya kejahatan akan terus membayangi dan terasa sangat menyiksa.
Kedudukan korban kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana saat ini belum ditempatkan secara adil bahkan cenderung terlupakan. Kondisi seperti ini akan berimplikasi tidak adanya perlindungan hukum bagi korban dan tidak adanya putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi korban, pelaku maupun masyarakat pada umumnya. Tidak adanya perlindungan hukum sebagai implikasi atas belum ditempatkannya secara adil korban dalam Sistem Peradilan Pidana, dapat ditelaah melalui perangkat peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana maupun melalui pengamatan empirik dalam praktik penegakan hukum, korban juga belum tampak memperoleh perlindungan hukum.
Proses peradilan pidana pada akhirnya bermuara pada putusan hakim di pengadilan sebagaimana terjadi pada saat ini, tampak cenderung melupakan dan meninggalkan korban. Pihak-pihak terkait seperti penyidik polisi, jaksa penuntut umum, penasihat hukum tersangka/terdakwa, saksi (korban) serta hakim dengan didukung alat bukti yang ada, cenderung berfokus pada pembuktian atas tuduhan jaksa penuntut umum terhadap tersangka/terdakwa. Proses peradilan lebih bergelut pada perbuatan tersangka/terdakwa memenuhi rumusan pasal hukum pidana yang dilanggar atau tidak. Dalam proses seperti itu tampak hukum acara pidana sebagai landasan hukum beracara dengan tujuan untuk mencari kebenaran materiil sebagai kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan perlindungan hak asasi manusia tidak seluruhnya tercapai.
Dilupakannya unsur korban dalam proses peradilan cenderung menjauhkan putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi pelaku maupun masyarakat. Dalam beberapa kasus, korban dapat berperan dengan berbagai derajat kesalahan dari yang tidak bersalah sama sekali hingga derajat lebih salah daripada pelaku.
Berdasarkan pada hal itu maka diperlukan adanya perubahan pandangan atau paradigma baru dalam hukum pidana. Orientasinya tidak hanya pada pelaku saja, akan tetapi juga korban secara seimbang. Dalam kepustakaan viktimologi pandangan tersebut oleh Schafer disebut Criminal-victim relationship.[1] Dengan mengacu pada teori tersebut, maka perhatian atas masalah hukum pidana cenderung akan berubah menjadi kejahatan (perbuatan), kesalahan (orang), korban dan pidana. Melalui paradigma demikian, tampaknya hukum pidana menjadi lebih tepat dan memenuhi rasa keadilan.

Kompensasi dan Restitusi Korban Kejahatan

Kerugian dan / atau penderitaan yang besar dan/atau berat merupakan aspek memberatkan pemidanaan terhadap pelaku, dan sebaliknya sedikit dan/atau ringannya kerugian dan/atau penderitaan korban merupakan aspek meringankan bagi pemidanaan terhadap pelaku. Derajat kesalahan korban dalam terjadinya tindak pidana (victim precipitation) merupakan aspek yang dipertimbangkan untuk meringankan pemidanaan bagi pelaku. Semakin tinggi derajat victim precipitation, maka semakin besar dipertimbangkan sebagai aspek yang meringankan pemidanaan korban.[2]
Apek pelaku yang dipertimbangkan meliputi sikap dan perilaku terhadap korban pasca terjadinya tindak pidana, kepribadian, serta komitmen terhadap penyelesaian kasus. Sikap dan perilaku pelaku terhadap korban dilihat apakah pelaku menghargai korban dan menyesali perbuatannya, meminta maaf terhadap korban dan memberikan dukungan dan/atau bantuan. Kepribadian pelaku dilihat dari aspek karakter dan perilakunya dalam kehidupan keseharian, apakah pelaku pernah atau sering melakukan perbuatan tercela atau tidak. Demikian pula dengan perilaku pelaku dalam proses peradilan pidana yang dapat dipertimbangkan sebagai aspek yang meringankan atau memberatkan pemidanaan. Setelah syarat-syarat pemidanaan terpenuhi dan aspek-aspek korban dan pelaku dipertimbangkan, maka pemidanaan dapat diputuskan. Jenis dan lamanya pidana dijatuhkan dikorelasikan dengan terpenuhinya syarat-syarat pemidanaan serta pertimbangan aspek korban dan pelaku
Pasal 35 Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia. Pasal tersebut menyatakan bahwa pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi itu memang sudah diatur dan melekat sebagai hak korban.[3] Artinya, kompensasi merupakan bentuk reparasi atas segala kerugian finansial yang lahir akibat terjadinya tindak pelanggaran HAM. Secara sederhana kompensasi adalah proses ganti rugi yang bisa dikonversikan dalam bentuk uang/finasial. Kerugiannya sendiri mencakup kerugian finansial yang terjadi akibat korban mengalami penderitaan fisik, harta milik/benda dan mental. Kerugian lainnya berupa kesempatan aktual yang hilang berupa pendidikan, kesehatan, ataupun pekerjaan yang layak. Kompensasi finansial ini merupakan bentuk reparasi yang paling lazim dipraktekkan di banyak negara.
Sedangkan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.[4] Perlindungan dan pemulihan hak-hak korban dan masyarakat luas harus dipandang sama pentingnya dengan pemidanaan dan atau rehabilitasi pelaku kejahatan. Dengan demikian, secara terintegrasi dilihat adanya saling membutuhkan satu sama lain. Korban dan pelaku ditempatkan dalam posisi yang sama pentingnya dalam satu bangunan sosial. Tidak diingkari bahwa sistem peradilan pidana telah mendemonstrasikan keberhasilannya dalam menuntut dan memenjara seseorang, tetapi selalu gagal untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang aman.
Seharusnya korban kejahatan harus diperlakukan secara bermartabat dan pelaku serta korban harus dirukunkan kembali (reconciled). Pelaku tidak hanya harus dipertanggungjawabkan, tetapi juga wajib direintegrasikan kembali ke dalam masyarakat agar menjadi warganegara yang produktif.[5]
Aspek yang sangat menonjol baik dalam proses pengadilan adalah perhatian atau perlakuan terhadap korban. Hal ini semakin menarik perhatian internasional dan ilmu pengetahuan (victimology), yang mencakup baik skema perlindungan terhadap korban untuk memperoleh keadilan (access to justice) maupun santunan dalam bentuk restitusi (dibayar oleh pelaku), kompensasi (dibayar oleh negara) maupun rehabilitasi pemulihan harkat dan martabat seseorang serta bantuan-bantuan dalam bentuk lain, misalnya bantuan kesehatan. Sebaliknya bagi si pelaku (perpetrator) yang memenuhi syarat-syarat tertentu dapat diberikan amnesti (pengampunan) yang diberikan presiden.[6]

Daftar Bacaan
Schafer, Stephen, 1968, The Victim and His Criminal a Study in Functional Responsibility, New York: Random House Inc.;
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, Kedudukan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Dimuat dalam Jurnal Penelitian Hukum "Supremasi Hukum" Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, FH UNIB Bengkulu.
Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
PP No. 3 Thn 2002 Ttg. Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM.
Kompas: Kamis, 21 April 2005.
Jakarta, 27 Mei 2008
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter