Oleh : Atang Setiawan, A.Md, S.Sos
1. Pendahuluan.
Profesi kedokteran merupakan salah satu profesi yang penuh dengan resiko, kadang-kadang dalam mengobati penderita dapat menimbulkan cedera atau cacat bahkan sampai dengan kematian sebagai akibat dari tindakan dokter. Karena itu resiko inilah kadangkala diartikan oleh pihak di luar profesi kedokteran atau pihak yang memiliki kepentingan lain sebagai malpraktek medik. Seringkali kita mendengar ataupun membaca media massa tentang kasus cacat sampai dengan kematian seseorang akibat dugaan malpraktek, sehingga pemberitaan tersebut akan menghantui para dokter dalam melaksanakan pengabdiannya dalam menolong penderita.
Meningkatnya kesadaran akan hak asasi manusia khususnya dalam bidang kesehatan serta semakin tingginya pengetahuan pasien terhadap berbagai masalah kesehatan menuntut dokter lebih memperhatikan keadaan pasien dalam mengobatinya. Peran dokter tetap dianggap lebih tinggi di mata masyarakat dan mendapat penghormatan yang lebih bila dibandingkan dengan profesi lainnya. Hal tersebut disebabkan kebutuhan pasien yang datang dalam keadaan sakit dan lemah sangat membutuhkan bantuan / pertolongan dengan percaya sepenuhnya kepada dokter yang menolongnya.
Karena itu dokter sebagai seseorang yang professional dibidangnya wajib menyarankan atau memberikan pemahaman mengenai resiko medik kepada pasiennya disamping membantu upaya pelayanan kesehatan yang lebih baik sehingga dokter akan lebih tenang dan maksimal dalam memberikan pelayanan kesehatan.
2. Pengertian Malpraktek.
2. Pengertian Malpraktek.
Malpraktek berasal dari “malpractice” yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter, dalam arti lain malpraktek adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dalam menjalankan profesinya. (D. Veronica Komalawati. 2000). Namun kadang-kadang malpraktek dikaitkan dengan penyalahgunaan keadaan karena keinginan untuk mencari keuntungan pribadi semata. Tidak jarang pula dengan menggunakan alasan tidak adanya informed consent, pasien menggugat atau menuntut ganti rugi kepada dokter dengan tuduhan malpraktek.
Menurut John D. Blum, malpraktek diartikan sebagai bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadi pada pasien sehingga pasien mengajukan gugatan atau tuntutan ganti rugi sebagai akibat langsung dari tindakan dokter (Hermin Hadiati Koeswadji. 1998).
3. Sebab Timbulnya Malpraktek
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit, termasuk di dalamya pelayanan medis yang didasarkan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan kesembuhan atas penyakit yang dideritanya. Dokter merupakan pihak yang mempunyai keahlian di bidang medis atau kedokteran yang dianggap memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukan tindakan medis. Sedangkan pasien merupakan orang sakit yang awam akan penyakit yang dideritanya dan mempercayakan dirinya untuk diobati dan disembuhkan oleh dokter. Oleh karena itu dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan medis ini dapat berupa penegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medis sesuai standar pelayanan medis serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan penyakit yang diderita pasien (M. Yusuf Hanafiah. 1999).
Dalam hubungan antara dokter dan pasien, masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis mulai dari tanya jawab (anamnesa), kemudian dilakukan pemeriksaan fisik oleh dokter terhadap pasiennya. Dokter akan menentukan diagnosa penyakit yang diderita pasien. Setelah diagnosis ditegakkan barulah dokter memutuskan jenis terapi atau tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien (Hermin Hadiati Koeswadji. 1998).
Dalam bidang pengobatan, dokter dan pasien menyadari bahwa tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai dengan keinginan pasien atau keluarganya. Dokter hanya berupaya secara maksimal secara hati-hati dan cermat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit dalam rangka mengusahakan kesembuhan penyakit pasiennya.
Sedangkan, Pasien mempunyai kewajiban memeriksakan diri sedini mungkin tentang penyakit yang dideritanya dengan memberikan informasi yang benar dan lengkap berkaitan dengan penyakitnya. Pasien juga wajib mematuhi petunjuk dan nasehat yang dianjurkan dokter berkaitan dengan makan, minum maupun istirahat yang cukup. Selain itu pasien harus merasa yakin kalau dokter akan berupaya maksimal dalam mengobati penyakitnya sehingga pasien harus kooperatif dan tidak menolak apabila diperiksa dokter.
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh pasien. Misalnya dokter bedah yang melakukan pembedahan terhadap suatu organ tubuh pasien. Oleh karena itu dalam setiap pembedahan, dokter harus berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tidak menimbulkan masalah dikemudian hari, seperti terjadinya infeksi nosokomial.
Selain itu juga sering terjadinya kealpaan / kelalaian yang merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Jadi dalam kelapaan ini tidak ada niat jahat dari pelaku / petindak. Kealpaan / kelalaian dan kesalahan dalam melaksanakan tindakan medis menyebabkan terjadinya ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan sesuai profesi kedokteran. Kealpaan dan kesalahan tersebut menyebabkan kerugian berada pada pihak pasien.
4. Kaitan dengan Hukum Pidana
Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat, maka timbullah masalah tanggung jawab pidana seorang dokter terutama yang berkaitan dengan kelalaian. Tanggung jawab pidana ini timbul bila dapat dibuktikan dengan adanya kesalahan, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan cara-cara pengobatan atau perawatan.
Dari segi hukum kelalaian atau kesalahan akan terkait dengan sifat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menyadari makna yang sebenarnya dari perbuatannya. Dan suatu perbuatan dikategorikan sebagai “criminal malpractice” apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah berupa kesengajaan, kecerobohan atau kealpaan (Safitri Hariyani. 2005).
Criminal malpractice yang berupa kesengajaan seperti melakukan aborsi tanpa adanya indikasi medik, tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang dalam keadaan emergency, membuat visum et repertum yang tidak benar serta memberikan keterangan yang tidak benar pada sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli. Perihal malpraktek dalam hukum pidana ada beberapa pasal yang mengaturnya antara lain :
a. Pasal 359 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan orang mati.
b. Pasal 360 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan orang lain luka berat.
c. Pasal 361 KUHP yaitu karena kesalahannya melakukan suatu jabatan atau pekerjaannya hingga menyebabkan mati atau luka berat maka akan dihukum berat.
d. Pasal 299, 348, 349, 350 KUHP mengenai pengguguran kandungan tanpa indikasi medik.
Dalam ilmu hukum pidana, suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi semua unsur yang telah ditentukan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana. Pasal 1 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) menyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi”.
Perbuatan pidana dapat bersifat kesengajaan maupun kealpaan, karena itu berdasarkan ilmu hukum pidana criminal malpractice apakah masuk delik kesengajaan atau kealpaan? Criminal malpractice bersifat delik kesengajaan apabila ada unsur dengan sengaja yaitu perbuatan pidana yang didasarkan pada sengaja untuk melakukan perbuatan pidana tersebut. Jadi perbuatan itu didasari sepenuhnya oleh pelaku perbuatan pidana (Kompas, 22 Oktober 2004).
Pada Criminal Malpractice, pembuktiannya didasarkan pada terpenuhinya semua unsur pidana. Pembuktianpun tunduk pada hukum acara pidana yang berlaku yaitu KUHAP. Dalam pasal 184 KUHAP disebutkan tentang alat-alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan perbuatan pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Perbuatan dikatakan terbukti sebagai perbuatan pidana apabila berdasarkan minimal dua alat bukti tersebut penyidik memperoleh keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana.
Kealpaan atau kelalaian merupakan salah satu unsur dari Pasal 359 KUHP yang terdiri dari unsur kelalaian, wujud perbuatan tertentu, akibat kematian orang lain serta hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain tersebut. Berdasarkan pengertian malpraktek, maka dapat dikatakan bahwa malpraktek terdiri dari unsur-unsur adanya unsur kesalahan / kelalaian dokter dalam menjalankan profesinya, adanya wujud perbuatan tertentu (mengobati / merawat pasien), adanya akibat luka berat atau matinya orang lain (pasien), adanya hubungan kausal bahwa luka berat atau kematian tersebut merupakan akibat dari perbuatan dokter yang mengobati pasien dengan tidak sesuai standar pelayanan medis.
Unsur-unsur tersebut memenuhi rumusan pasal 359 KUHP, bila pasien dan atau penyidik dapat membuktikan adanya keempat unsur tersebut maka pasal 359 KUHP dapat diterapkan kepada dokter yang melakukan malpraktek. Namun untuk menentukan suatu kelalaian yang dilakukan oleh seorang dokter bukanlah hal yang mudah karena banyak faktor yang mempengaruhi dan menjadi latar belakang terjadinya kasus tersebut.
5. Penanganan Malpraktek
Sebagai profesi, sudah tentu dokter memiliki peraturan hukum yang dapat menjadi pedoman dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran tersebut. Karena itu untuk penanganan bukti hukum tentang kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya, banyak kendala yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Menurut Reschemeyer, cirri dari profesi adalah menerapkan pengetahuan secara sistematis untuk memecahkan masalah serta relevan dengan nilai-nilai utama masyarakat (Reschemeyer, Hukum dan Profesi Hukum). Profesi dokter memiliki nilai dan pengakuan yang sangat tinggi dalam masyarakat karena pada saat orang mengalami sakit orang tersebut akan mencari dokter untuk mengobati penyakitnya.
Dalam menegakkan diagnosa, memberikan terapi sampai melakukan tindakan medik, dokter harus selalu berpedoman kepada prosedur yang telah ditetapkan oleh ikatan profesinya. Niat seorang dokter yakni untuk menolong pasiennya dan berupaya memberikan kesembuhan bagi pasien yang memohon bantuannya. Namun kadang-kadang hasil yang didapat justru sebaliknya dari niat tersebut. Pasien tidak mendapatkan kesembuhan, bahkan mendapat cacat atau yang lebih tragis lagi, kematian. Bila hal itu terjadi dan dimuat di media massa maka biasanya orang beranggapan bahwa dokter tersebut telah melakukan malpraktek. Padahal, sebenarnya dokter juga manusia biasa yang bisa lupa, letih, mengalami stress, sakit, lalai atau berbuat salah. Dan keadaan ini sering dialami oleh dokter yang harus menangani banyak pasien.
Karena itu, kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum tetapi terlebih dahulu melalui Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) yang merupakan badan dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merupakan pelanggaran etika atau pelanggaran hukum (H.M. Soedjatmiko. 2002).
Namun pada kenyataannya, sama halnya dengan profesi lainnya, karena MKEK keanggotaannya terdiri dari para dokter yang terikat pada sumpah jabatannya sehingga terdapat “kecenderungan” untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya. Akibatnya, pasien akan merasa tidak puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien. Itulah sebabnya, karena pasien tidak mendapat kepuasan, yang terjadi melaporkan kasus yang menimpanya melalui jalur hukum.
Referensi :
1. Anny Isfandyarie: Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005
2. D. Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
3. Hermin Hadiati Koeswadji: Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
4. H.M. Soedjatmiko: Masalah Hukum Medik Dalam Malpraktek Yuridik, Dalam Kumpulan Makalah Seminar tentang: “Etika dan Hukum Kedokteran” RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang, 2002
5. Kompas, 22 Oktober 2004
6. M. Yusuf Hanafiah: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999
7. R. Sugandi: KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980.
8. Reschemeyer, Hukum dan Profesi Hukum.
Safitri Hariyani: Sengketa Medik, Alternatif Penyelesaian Perselisihan antara Dokter dengan Pasien, Diadit media, Jakarta, 2005
Post a Comment