1. Pendahuluan.
Berbicara tentang kekerasan, tidak bisa dilepaskan dari tindak kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di belahan dunia manapun. Di daerah damai saja terjadi kekerasan apalagi di daerah konflik. Sebagaimana telah menjadi gambaran umum bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak saja bersifat fisik, tetapi juga menyangkut pelecehan dalam bentuk kata-kata, pornografi, perdagangan terhadap perempuan dan anak perempuan, pemanfaatan ketergantungan ekonomi bahkan juga termasuk pada persoalan melalaikan upaya penurunan angka kematian ibu.1
Tindakan kekerasan yaitu membuat orang lain menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi.2 Oleh karena itu melakukan tindakan kekerasan merupakan suatu kegiatan atau tindakan dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani dengan sekuat mungkin secara tidak sah seperti memukul baik dengan tangan atau menggunakan segala macam senjata sehingga menyebabkan orang yang mengalami tindakan kekerasan tersebut merasa sakit yang luar biasa baik secara fisik, psikis maupun seksual.
Kekerasan merupakan istilah umum yang menunjukkan pada semua tipe-tipe perilaku yang mengancam atau sungguh-sungguh yang mengakibatkan kerusakan atau menghancurkan milik seseorang atau mengakibatkan luka-luka atau kematian pada seseorang.3
Korban kekerasan terhadap perempuan adalah perempuan yang menjadi korban suatu tindakan yang membuat mereka menderita baik secara fisik, psikis maupun seksual. Seseorang dikatakan sebagai korban kejahatan atau kekerasan apabila menderita kerugian fisik (mengalami luka, kerugian harta benda), psikis (mengalami trauma emosional) dan kerugian seksual yang dipandang tidak hanya secara legal tetapi juga social dan cultural.4
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.5 Oleh karena itu dalam setiap peristiwa kejahatan atau kekerasan, pihak korban merupakan objek yang paling menderita dan dirugikan. Perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan khususnya apabila menyangkut kekerasan atau kejahatan seksual, akan mengalami trauma atau beban yang berkepanjangan terutama dari aspek fisik, mental maupun social.
Tindak kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di daerah konflik semata, pada situasi damai sekalipun tindak kekerasan terhadap perempuan memungkinkan terjadi. Hal yang sama dapat terjadi pada diri perempuan di tempat kerja yang justru menjadi masalah tersendiri bagi perempuan yang bersangkutan. Bila perempuan yang mendapat tindak kekerasan atau pelecehan seksual di tempat umum masih memiliki kesempatan untuk menghindar, maka tidak demikian halnya bagi perempuan yang mengalami di tempat kerja. Mereka tidak hanya dihadapkan pada persoalan fisik dan emosi semata tetapi juga persoalan ekonomi dan dihadapkan pada sejumlah resiko seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan untuk promosi jabatan, kehilangan kesempatan untuk naik gaji dan sebagainya.
Pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja biasanya adalah atasannya, rekan kerja dan para pelanggan. Sementara itu jika pembicaraannya seputar motif maka yang melatarbelakanginya dapat berupa motif seksual dan gender serta motif ketergantungan pada pekerjaan. Motif perempuan sebagai sarana penghinaan juga dapat tampil ke permukaan bila antara dua pihak yang berinteraksi berlatar belakang berbeda baik perbedaan etnis / ras ataupun perbedaan agama dan kelas social.6
2. Permasalahan.
Isu kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja sebenarnya sudah sering terdengar. Tindakan-tindakan kekerasan di tempat kerja tidak sekadar mengganggu tetapi sudah merupakan masalah yang memprihatinkan korban karena dampaknya cukup serius seperti dipermalukan, stress, terhina, direndahkan, terintimidasi bahkan dapat kehilangan hal-hal yang paling berharga seperti pekerjaan bahkan kehormatan.7
Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di tempat kerja dalam bentuk pelecehan seksual maupun ancaman dari atasan terhadap bawahan. Sebenarnya si pelaku relatif mudah dikenali identitasnya dan kasusnya dapat diidentifikasi, namun kasus ini tetap sulit diungkap dan diselesaikan, itulah yang menjadi permasalahan.
3. Analisa.
Tindak kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual di tempat kerja seringkali memiliki konsekuensi seperti kehilangan pekerjaan maupun tekanan emosi pada korban. Konsekuensi tersebut dapat berupa ketakutan mereka dalam melaksanakan dan menjalani aktivitas kerja sehari-hari. Ketakutan atas pengalaman akan tindak kekerasan tersebut akan berpengaruh pada menurunnya motivasi kerja individu, ketakutan dalam bekerja dan moral seperti merasakan malu, intimidasi, ketakutan, putus asa, rasa bersalah dan marah.
Beberapa fakta menunjukkan bahwa : (1) Secara fisik; korban kekerasan akan mengalami gangguan kesehatan / fisik baik yang bersifat temporer maupun permanen seperti korban menderita cidera, luka atau cacat pada tubuh korban dan atau akan mengakibatkan kematian sehingga akan berpengaruh terhadap timbulnya gangguan psikis. (2) Secara psikis; korban kekerasan akan mengalami trauma psikis yang berkepanjangan, seperti merasa ketakutan, hilangnya percaya diri dan kemampuan untuk bertindak serta merasa tidak berdaya. Apalagi bila penanganannya dilakukan secara kurang manusiawi seperti menjadi objek pemberitaan media
Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pelecehan seksual di tempat kerja terkesan diabaikan, banyak perempuan mengalami berbagai tindak kekerasan seksual dari pihak atasan. Kondisi dan suasana di tempat kerja tentu berbeda dengan keadaan di tempat-tempat umum lainnya yang sering terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan. Di lingkungan tempat kerja setiap individu akan terikat dengan peraturan kerja yang harus dan wajib dipatuhi. Sehingga dengan adanya kondisi dan suasana demikian akan terjadi interaksi antar individu dalam lingkungan kerja maupun di luar tugas kerja. Akibat adanya interaksi tersebut dampaknyapun dapat bersifat fositif maupun negatifyang tidak mudah untuk dilupakan dan dielakkan karena adanya peraturan dan tatanan kerja yang ketat yang diwarnai dengan status dan posisi masing-masing pihak.
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan sering dilakukan dengan cara-cara pelecehan seksual yang ringan sampai dengan yang berakibat fatal. Adapun bentuk gangguan, godaan, usikan yang menyangkut masalah pelecehan seksual dapat berupa berbuatan dalam bentuk kata-kata atau ucapan yang tidak senonoh, mencolek bagian tubuh yang terlarang sampai tindak kekerasan atau ancaman kekerasan seperti perkosaan.8 Bentuk lainnya dapat berupa ancaman pemutusan hubungan kerja, pemutasian atau memindahkan di tempat kerja yang lebih berat dan rendah, disakiti secara fisik, psikologis bahkan diperkosa sebagaimana banyak dialami oleh pada pembantu rumah tangga baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Tindak kekerasan di tempat kerja seringkali terus berlanjut karena berkembang adanya mitos yang mendukung perilaku tersebut. Tindak kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual di tempat kerja merupakan keinginan seksual yang wajar, normal yang dialami antara laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki dan perempuan yang bekerja bersama-sama dalam satu tempat kerja maka perilaku yang mengarah paa canda, gurau maupun kencan akan sulit untuk dihindari. Selain itu perempuan seringkali lebih suka berpenampilan yang berlebihan dan berharap agar rekan kerja memperhatikannya sehingga situasi kerja harus diselingi dengan canda dan permainan. Alasan-alasan tersebut sering dijadikan sebagai pembenaran bagi pelaku tindak kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual. Akibatnya korban berada pada posisi yang dirugikan dan terpojok serta masalah ini sering tidak tampak ke permukaan walaupun dampaknya cukup serius bagi korban.
Tindak kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual di tempat kerja seringkali dianggap sebagai sebuah perilaku yang berkonotasi gurauan saja atau bahkan dianggap sebagai sebuah perilaku yang wajar dalam pergaulan mereka di tempat kerja. Ataupun sebagai akibat rendahnya pengetahuan tentang apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual, sehingga pada akhirnya sebagian diantara mereka memilih sikap diam. Pelecehan seksualpun sering dilakukan oleh atasan terhadap bawahan dibandingkan bawahan terhadap atasannya. Di sisi lain juga korban tidak menyadari bahwa dirinya berada pada posisi sedang dilecehkan atau tidak mampu berbuat apapun utuk melindungi pripacy-nya. Karena memang situasi dan kondisi di tempat kerja berbeda dengan kondisi di tempat umum lainnya yang selalu memungkinkan terjadinya pelecehan seksual. sehingga hal tersebut memperkuat bahwa tindakan pelecehan seksual menjadi hal yang wajar saja.
Cara penanganan korban tindak kekerasan di tempat kerja berupa pelecehan seksual tergantung kepada korban itu sendiri. Korban dapat lengsung menunjukkan sikap dan perilaku terhadap pelaku dengan menunjukkan sikap marah, tegas dan serius untuk menangkal situasi dan tindakan yang dapat merugikan korban dan tidak menunjukkan sikap yang taat dan patuh menuruti kehendak pelaku. Usaha lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan informasi kepada kelompok pekerja atau masyarakat dunia kerja agar memahami dan menyadari permasalahan pelecehan seksual di tempat kerja.
4. Kesimpulan.
Terjadinya tindak kekerasan di tempat kerja dalam bentuk pelecehan seksual merupakan masalah tersendiri yang terkadang agak sulit dalam mengungkapnya. Untuk mengungkapnya sering terbentur dengan hilangnya pekerjaan atau kesempatan yang dimiliki korban karena dianggap mempermalukan rekan kerjanya. Padahal yang lebih dirugikan adalah korban sendiri dengan adanya pelecehan seksual yang manimpa dirinya. Padahal akinbat yang diderita korban lebih besar misalnya, menurunnya motivasi kerja individu, ketakutan dalam bekerja dan moral seperti merasakan malu, intimidasi, ketakutan, putus asa, rasa bersalah dan marah.
Untuk mengungkap dan mengajukan perkara kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja dalam hal pelecehan seksual perlu meunbuhkan rasa solidaritas diantara perempuan itu sendiri di tempat kerja. Selain itu rekan kerja perempuan bersedia menjadi saksi dalam mengungkap tindak pelecehan seksual di tempat kerja dengan memberikan kesaksian kepada polisi maupun LSM yang bergerak melayani korban kekerasan terhadap perempuan sehingga permasalahan dapat diselesaikan secara hukum yang berlaku.
5. Referensi.
Suraiya Kamaruzzaman: Tindak Kekerasan terhadap Perempuan di Aceh; dalam Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan.
Sugandi, R, SH: Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan penjelasannya,
Kadish, Stanford H. ed: Encyclopedia of Crime and Justice,
Romany Sihite. Wanita, Kejahatan dan Keadilan, Jurusan Kriminologi Fisip Universitas
Arif Gosita: Masalah Perlindungan Anak,
Tamrin A. Tomagola: Restu Sosial Budaya atas Kekerasan terhadap Perempuan; dalam Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan.
Nurfaizi: Peranan Penyidik dalam Kasus-kasus Pelecehan Seksual, disampaikan pada Symposium Pelecehan Seksual dan Kejahatan Susila, 1995. FKUI.
1 Suraiya Kamaruzzaman: Tindak Kekerasan terhadap Perempuan di Aceh; dalam Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan.
2 Sugandi, R, SH: Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan penjelasannya,
3 Kadish, Stanford H. ed: Encyclopedia of Crime and Justice,
4 Romany Sihite. Wanita, Kejahatan dan Keadilan, Jurusan Kriminologi Fisip Universitas
5 Arif Gosita: Masalah Perlindungan Anak,
6 Tamrin A. Tomagola: Restu Sosial Budaya atas Kekerasan terhadap Perempuan; dalam Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan.
7 Romany Sihite. op. cit. Hal. 35.
8 Nurfaizi: Peranan Penyidik dalam Kasus-kasus Pelecehan Seksual, disampaikan pada Symposium Pelecehan Seksual dan Kejahatan Susila, 1995. FKUI.
Post a Comment