-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Menghapus Wajah Garang Polisi


Atang Setiawan

Peralihan Fungsi
Sejak masa kecil kita mengetahui kepolisian berkaitan dengan tugas-tugas hukum, sehingga tidak salah kalau dikatakan polisi adalah hamba hukum. Itu sebabnya kalau seseorang akan melanjutkan sekolah, mencari pekerjaan, atau mendapatkan paspor, misalnya, harus mendapat rekomendasi dari kepolisian bukan dari instansi lain. Data yang dimiliki oleh kepolisian tentunya belum terlalu lengkap, sehingga untuk itu harus mendapat keterangan awal dari RT, RW dan kelurahan. Di negarai-negara maju kepolisian sudah dilengkapi bank sidik jari maupun catatan semua pelaku kejahatan.
Dengan demikian kantor polisi sudah memiliki data lengkap mengenai riwayat kelakuan setiap warga negara. Itu sebabnya kantor polisi tidak bisa diragukan kalau harus berhak mengeluarkan surat keterangan kelakuan baik sekarang surat keterangan catatan kejahatan. Ini semua dilakukan karena kepolisian memang memegang otoritas sebagai instansi yang berkaitan dengan hukum. Oleh karenanya berbagai perilaku atau kegiatan warga masyarakat yang berkaitan dengan keamanan, kriminalitas, maupun transaksi dagang, perjanjian perdata, ketentuan pidana dan sebagainya menjadi urusan polisi, karena mempunyai konsekuensi hukum.
Selama masa Orde Lama dan Orde Baru instansi kepolisian mendapat tambahan fungsi yang berkaitan dengan pertahanan, di samping tetap menangani fungsi-fungsi kepolisian. Fungsi baru itu dilaksanakan bersama dengan angkatan bersenjata lain, dalam wadah baru yang bernama Angkatan Bersenjata.
Sebagai unsur Angkatan Bersenjata, dengan sendirinya kepolisian didorong menggunakan pendekatan kemiliteran dalam menjalankan fungsinya. Sejak dari jenjang pendidikan, pelayanan kepada masyarakat, maupun dalam menangani tugas-tugas kepolisian di lapangan dilakukan dengan semangat kemiliteran pula. Wajah polisi menjadi garang.
Jarak antara polisi dan masyarakat menjadi makin lebar. Kantor polisi berubah menjadi markas atau benteng petugas bersenjata yang membuat warga masyarakat makin takut untuk memasukinya. Tentu saja perubahan itu amat dirasakan ketika polisi harus tampil di bidang-bidang pelayanan maupun penyelidikan dan penyidikan.
Dalam bidang sabhara maupun tempur, seperti dilakukan Brimob, pendekatan militer seperti itu tidak ada masalah, bahkan sangat cocok. Sebaliknya pimpinan polisi mendapat "hak" baru dalam bidang politik. Mereka mempunyai peluang untuk menerima tanggung jawab baru dalam rangka konsep dwifungsi ABRI, yaitu menjadi kepala daerah maupun anggota DPR/MPR yang dijabat bukan melalui prosedur pemilihan umum.
Wajah garang yang selama ini dipasang pada wajah-wajah personil kepolisian tampaknya belum bisa dihapus, meskipun sejak kita memasuki era reformasi, secara konseptual sudah diberlakukan paradigma baru kepolisian. Polisi masih gamang dalam melaksanakan fungsi dengan pendekatan baru yang nonmiliteristik. Tampaknya memang dibutuhkan waktu dan kebijakan cukup lama untuk melaksanakan semangat baru itu dalam masa transisi ini.

Paradigma Baru
Hingga kini dunia kepolisian masih menghadapi ujian dan tantangan. Dan tentu saja pujian, karena prestasi yang telah dicapai. Biasanya warga kepolisian merasa kecil hati kalau hampir-hampir tidak pernah menerima pujian dari masyarakat, sebaliknya yang banyak dikemukakan oleh masyarakat adalah cercaan, maupun kritik.
Salah satu prestasi yang paling dibanggakan adalah keberhasilan menyingkap pelaku kasus pemboman Bali, November 2002.
Ujian lain yang harus dihadapi polisi adalah terlibatnya anggota kepolisian Indonesia dengan kasus pemerasan pada para pengusaha, kasus salah tembak, kasus narkoba yang lagi marak beberapa waktu lalu. Tugas polisi bukan sekadar memberikan klarifikasi melainkan harus sampai pada penindakan secara hukum tidak pandang bulu. Itu merupakan PR bagi pimpinan Polri untuk memercepat pemulihan nama baik dunia kepolisian.
Tantangan lain yang masih harus dihadapi pimpinan Polri adalah bagaimana menyosialisasi konsep pendekatan sosial budaya yang menjadi ciri dari paradigma baru kepolisian Indonesia. Yaitu polisi sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat. Yang lebih penting bukan sekadar menyosialisasi semboyan itu, melainkan mempercepat proses penghayatan seluruh warga kepolisian terhadap semboyan tadi. Jangan sampai misalnya semboyan itu salah diartikan, dan menimbulkan sinisme di kalangan masyarakat terhadap penampilan polisi. Tentu saja hal itu bukan hanya menjadi urusan polisi, melainkan lebih-lebih menjadi urusan masyarakat pada umumnya. Kecuali karena masyarakat adalah pihak pembayar pajak yang membiayai urusan kepolisian, juga karena masyarakat adalah pihak yang menerima dampak dari penampilan polisi.

Jakarta, 9 Mei 2009
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter