-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Polisi Salah Tangkap, Mengapa Terjadi?


Penomena Salah Tangkap.
Kepolisian seperti terperosok pada lubang yang sama, terkait kasus salah tangkap. Para korban bahkan dijebloskan ke penjara atas kasus pidana yang tidak pernah mereka lakukan, peradilan sesat terjadi di depan mata. Keinginan mengungkap kejahatan oleh para penegak hukum malah membuat kejahatan baru dengan menghukum orang tidak bersalah.
Kita diingatkan kisah klasik Sengkon dan Karta (1974) yang dijebloskan ke penjara karena dituduh merampok dan membunuh, hal yang tidak pernah mereka lakukan terhadap korban suami-istri Sulaiman dan Siti Haya di Desa Bojong, Bekasi. Budi Harjono yang disangka membunuh ayah kandungnya tahun 2002 di Bekasi ternyata bernasib sama karena tidak pernah membunuh ayahnya sendiri.
Tahun 2007, terjadi peradilan sesat atas Risman Lakoro dan Rostin Mahaji, warga Kabupaten Boalemo, Gorontalo, dan menjalani hukuman di balik jeruji besi atas pembunuhan anak gadisnya, Alta Lakoro. Namun, pada Juni 2007, kebenaran terkuak, korban masih hidup dan muncul di kampung halamannya. Kejadian paling akhir adalah kasus Asrori, korban ke-11 yang diakui Very Idam Henyansyah alias Ryan, si pembunuh berantai. Setelah dilakukan penggalian mayat, ternyata jasad Asrori alias Aldo sesuai hasil pemeriksaan DNA sama dengan jenis darah kedua orangtua almarhum.
Kasus salah tangkap oleh jajaran kepolisian terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana membuktikan aparat penegak hukum kurang profesional dan cenderung memaksakan diri untuk memenuhi target pengungkapan dan penuntasan terhadap suatu kasus. Kasus salah tangkap ini sudah seringkali terjadi di lingkungan polisi, bukan hanya terhadap orang yang disangka pelaku kriminal tetapi yang cukup banyak dan meresahkan adalah dalam kasus-kasus narkoba, ini membuktikan kinerja polisi di lapangan belum profesional dan hanya untuk memenuhi target saja.
Untuk kasus-kasus yang banyak mendapat sorotan masyarakat polisi sering bertindak tidak sesuai prosedur dan memaksakan diri untuk segera menuntaskan kasus tersebut sehingga berdampak pada salah tangkap. Seperti kasus penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya wartawan Harian Bernas Fuad Muhammad Safruddin alias Udin 12 tahun lalu, polisi kemudian melakukan penangkapan terhadap Dwi Sumaji alias Iwik sebagai tersangka, padahal tidak punya bukti yang cukup kuat sehingga akhirnya di vonis bebas di Pengadilan Negeri Bantul. Bukan rahasia lagi jika polisi masih menggunakan cara-cara konvensial untuk membuat BAP seperti tekanan fisik dan intimidasi sehingga apa yang tertuang dalam BAP tidak murni lagi dan hanya untuk memenuhi target polisi.
Dalam kasus salah tangkap terhadap tersangka pembunuh Asrori di Jombang Jawa Timur polisi tidak boleh lepas tanggungjawab dan berkilah ada dua Asrori yakni Asrori alias Zaki dan Asrori alias Aldo. Polri tetap harus menunjukkan itikad baik dan jangan lempar tanggungjawab, apalagi dengan alasan bahwa terjadi kesalahan tes DNA. Bukankah tes tersebut yang mengambil sampel juga dari forensik polisi. Hukum pidana kita telah mengatur pembuktian (Pasal 184 Ayat 1 KUHAP) bukan hanya pengakuan tersangka yang dapat dijadikan alat bukti. Dalam praktik, agar tersangka mengakui perbuatannya, penyidik kepolisian menggunakan berbagai cara, termasuk kekerasan, dan hampir semua korban salah tangkap mengalaminya.
Kisah salah tangkap memang tidak menggambarkan citra kepolisian secara keseluruhan. Namun, sudah menjadi pengetahuan umum praktik penyiksaan tahanan serta kekerasan oleh kepolisian sering menghiasi keseharian tugas kepolisian. Harapan terhadap kepolisian sebagaimana bunyi Pasal 13 (c) UU No 2 Tahun 2002, yaitu ”Kepolisian RI bertugas memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, sepertinya masih jauh panggang dari api.
Alangkah berbahayanya pelaksanaan hukuman mati bila ternyata terpidana tidak bersalah, di mana sistem hukum di negara kita yang masih lemah, terlebih aparatnya masih tidak profesional. Namun, bagi mereka yang prohukuman mati (retentionis) menyatakan, hukuman mati adalah tepat bagi pelaku pembunuhan (paham pembalasan). Jika demikian, agar hukum tetap tegak dan konsisten bagi terpidana mati yang ternyata tidak bersalah, dapatkah penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim, yang terlibat penghukuman mati itu harus dihukum mati juga sebagai balasannya. Sejauh ini belum ada preseden dan sistem hukum kita belum mengakomodasi hal ini.


Upaya Korban.

Para korban salah tangkap dan salah hukum berhak mengajukan upaya hukum, seperti permohonan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung dengan menyerahkan bukti baru (novum) serta gugatan ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana diatur di dalam KUHAP. Akan tetapi, upaya itu membutuhkan waktu lama dan birokrasi bertele-tele. Karena itu, terobosan menghadapi situasi seperti ini perlu diterapkan langkah darurat. Mengingat para korban kini masih mendekam di penjara dan di tahanan, dibutuhkan langkah cepat dan tepat.
Penegak hukum hendaknya tidak saling lempar tanggung jawab, menyalahkan, dan tidak boleh bersikap pasif jika ada fakta bahwa korban tidak bersalah, seperti bunyi Pembukaan UUD 45, negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Negara melalui penegak hukum yang paling bertanggung jawab, yaitu Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung hendaknya berkoordinasi dan mengambil langkah prioritas membantu memproses PK para korban dan menyidangkan gugatan ganti rugi serta merehabilitasi nama baik korban. Para korban yang tidak bersalah itu sebaiknya mendapat ganti rugi yang layak dari negara dan bila perlu ganti rugi itu dibebankan kepada para penegak hukum yang terlibat peradilan sesat atas diri korban.
Aksi penangkapan dan penahanan, kiranya polisi dapat bertindak lebih profesional dengan menjunjung tinggi criminal process yang berlaku secara universal. Kalaupun mereka yang ditangkap diduga keras telah melakukan suatu perbuatan pidana, akan tetapi mereka harus tetap diperlakukan seolah tidak bersalah. Cara-cara yang represif seyogianya ditanggalkan kecuali jika ada serangan nyata dari para tersangka.

Polisi Terus Berbenah.
Polri segera melakukan pembenahan diri untuk memperbaiki citranya di mata masyarakat, setelah munculnya kasus salah tangkap. Sejumlah kekeliruan dan adanya kecenderungan Polri over acting pasca dipisahkan dengan TNI di masa pemerintahan Gus Dur, akibat belum tuntasnya proses rerformasi di tubuh Polri. bila polisi tidak segera memperbaiki citranya, profesi sebagai penegak hukum bukan hanya akan menjadi bahan tertawaan, tapi juga menjadi kendala serius bagi Polri dalam menegakkan hukum.
Kultur di kepolisian maupun perilaku aparat Polri dalam mengungkap kejahatan harus diubah. Pengakuan dari tersangka itu bukan segala-galanya. Banyak hal yang harus dikedepankan, seperti hasil test DNA. Pemerintah juga harus melakukan harmonisasi perundang-undangan terutama KUHAP dan KUHP. Pendekatan budaya, kekeluargaan, dan menjauhi segala bentuk kekerasan merupakan cara yang efektif bagi penyidik polisi untuk menangani perkara pidana. Cara tersebut, meski sempat menuai kritik baik di dalam maupun di luar negeri, justru telah membantu penyidik polisi menggali keterangan dari pelaku kejahatan.
Perbaikan terhadap peningkatan pelayanan polisi bukan tidak pernah dilaksanakan, bahkan terus dilaksanakan. Namun, perubahan dari budaya polisi yang tadinya militeristik, menjadi polisi sipil yang berjiwa melayani masyarakat terbukti berjalan lamban karena banyaknya kendala. Salah satu contoh usaha perubahan yang dilakukan adalah perubahan brand image Polri, dari tadinya "Unit Reaksi Cepat", menjadi "Melindungi dan Melayani." Juga, perubahan suasana pos-pos polisi yang semula menakutkan menjadi pusat pelayanan dengan semboyan "Kami siap melayani Anda."
Aspek kultural polisi memang belum berubah secara signifikan, berbeda dengan perubahan struktural dan instrumental yang lebih cepat bergulir. Kesulitan berubah itu terletak pada sulitnya polisi melepaskan hal-hal yang selama ini dianggap "menyenangkan." Sebagai contoh, kebudayaan ''Siap, nDan!'', yaitu kebiasaan yang dibawa sejak zaman ABRI yang masih melekat pada banyak anggota polisi sekarang. Suatu sikap yang taat pada atasan dan tunggu perintah. Pendeknya, sikap militer yang membuat anggota itu pasif, tidak berani berinisatif, apalagi berinovasi. Padahal, tantangan di lapangan justru menghendaki sikap yang inovatif. Di samping itu, budaya polisi juga sangat ditentukan oleh sistem regulasi dan role model (keteladanan) dari para pemimpin. Sistem regulasi yang berkaitan dengan pedoman kerja, dukungan anggaran dan materiil, terutama regulasi yang tidak kunjung jelas dalam pembinaan karier sehingga membuka peluang hubungan personal patron-klien, akibatnya budaya pelayanan lebih cenderung pada patronnya ketimbang masyarakat, sekali lagi... ''Siap, nDan!'' untuk menjaga posisinya.
Manajemen Polri, sudah melakukan banyak hal dalam proses reformasi Polri. Di antaranya sosialisasi kode etik Polri, sosialisasi reformasi pembinaan, dan pembaruan kurikulum. Untuk kurikulum pendidikan Polri misalnya, saat ini sudah mulai disesuaikan dengan banyak mengadopsi konsep-konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Memang mengubah sikap mental sangat susah, jadi harus berulang-ulang dan butuh waktu lama. Sebab selama ini persoalan yang membelenggu Polri bukan hanya menyangkut lemahnya figur kepemimpinan, tapi juga menyangkut rendahnya kemampuan manajerial dan tidak adanya kemampuan meningkatkan kapasitas kepolisian di wilayah tempatnya bertugas. Akibatnya masyarakat sering mengeluhkan sikap, prilaku, dan kinerja aparat kepolisian. Jika hal ini terus terjadi Polri akan semakin sulit meningkatkan profesionalismenya sebagai polisi sipil yang menjadi mitra masyarakat.


Jakarta, 1 Desember 2008
Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

2 comments

PERADILAN INDONESIA AMBURADUL : INI BUKTINYA

Putusan PN. Jakarta Pusat No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan

demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini

telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru

menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi

gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku

Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia ??

David Pangemanan,
(0274)9345675
INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA
Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku Usaha?). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia?
David
(0274)9345675
Subscribe Our Newsletter