-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Kemacetan Lalu Lintas dan Kejahatan Jalanan


Oleh : Atang Setiawan, S.Sos *

Kemacetan Lalu Lintas.

Kemacetan lalu lintas bagi masyarakat perkotaan sudah merupakan permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Tingginya volume kendaraan bermotor di setiap ruas jalan utama yang sebelumnya hanya terjadi pada jam-jam sibuk, sekarang ini sudah tidak lagi mengenal waktu. Kondisi lalu lintas di kota-kota besar seperti itu tiada lain disebabkan karena semakin tidak seimbangnya pertambahan kendaraan bermotor dan pembangunan jaringan jalan. Kemacetan lalu lintas di Jakarta makin hari makin parah. Ini merupakan cerminan dari ruwetnya situasi kota yang membuat para penentu kebijakan tidak bisa menyeimbangkan pemakaian / jumlah kendaraan dengan kapasitas jalan. Ketika turun hujan misalnya, hampir seluruh titik jalan di ibu kota ini timbul kemacetan lalu lintas. Semua pengguna lalu lintas menggerutu. Lalu masalah itu muncul di media massa, ceramah, seminar, diskusi, di mikrolet, di bus kota, dan lain- lainnya. Namun tidak pernah muncul solusi yang komprehensif sehingga kemacetan makin hebat seraya menimbulkan berbagai permasalahan. Pemborosan bahan bakar, buruknya kualitas udara, kematian, hingga masalah kesetaraan hak dalam penggunaan ruang jalan yang terampas dari pengguna kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki. Jalan yang ada pun masih diributkan dengan bermacam keperluan non-lalu lintas. Trotoar dikuasai pedagang kaki lima. Belum lagi kalau jalan rusak atau hujan, jalan terendam air sehingga menimbulkan kemacetan. Kapasitas jalan yang sudah kecil makin kecil saja, apalagi diambil untuk jalur busway, padahal kendaraan terus bertambah. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang dibangun di sejumlah tempat sering dikeluhkan lamban oleh masyarakat. Kelambatan dan kemacetan makin menjadi-jadi karena buruknya manajemen lalu lintas selama masa konstruksi. Pemerintah DKI hanya sibuk membangun koridor busway, underpass, jembatan layang, serta pelebaran jalan dan jembatan. Pelanggaran lalu lintas dan perilaku tidak tertib? Jakarta memerlukan tindakan lebih keras. Sudah waktunya pelanggar lalu lintas, apalagi kalau itu dilakukan berulang-ulang, dicabut SIM-nya dan tidak boleh memiliki SIM selama kurun waktu tertentu.

Kemacetan lalulintas di kota Jakarta akhir-akhir ini tidak hanya membuat kesal, melainkan juga menakutkan. Aksi kejahatan setiap waktu mengintai mereka yang terjebak kemacetan, tak hanya pengemudi mobil pribadi tapi juga penumpang angkutan umum, serta sopir truk (Pos Kota, 22 Nopember 2007). Meningkatnya jumlah titik kemacetan di Jakarta akibat dampak pembangunan jalur busway, membuat mata para pelaku kejahatan mengintai dan setiap saat siap menerkam korbannya. Berbagai modus operandi kejahatan terjadi di jalanan seperti perampokan, penodongan, congkel spion, bahkan penjahat ‘kapak merah’ yang kerap memecahkan kaca mobil sampai bandit ‘bajing loncat’. Namun kasus-kasus tersebut menjadi sering tidak terungkap oleh polisi, kasus tersebut menjadi dark number, hal tersebut disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat yang menjadi korban kejahatan untuk melapor ke polisi. Sehingga kasus kejahatan yang terjadi di tengah kemacetan lalulintas akan semakin meningkat dan akan semakin meresahkan dan menakutkan masyarakat (fear of crime).

Kejahatan Jalanan

Aksi para penjahat jalanan ini dilakukan pada siang sampai sore hari, pada jam-jam arus lalu lintas dalam keadaan padat. Sebagai contoh, di tengah kepadatan lalulintas, di daerah perempatan Coca Cola, Jl Ahmad Yani, perbatasaan antara Jakarta Pusat, Utara dan Timur. Dua pemuda tanggung dengan tenangnya berjalan di sela-sela kepadatan kendaraan sambil membawa lap berpura-pura akan membersihkan kaca mobil pengendara. Bett… tiba-tiba satu teman lainnya secepat kilat menyambar kaca spion mobil Alpard, hasilnya disembunyikan di balik baju, lalu kabur. Pengemudi hanya diam saja tak berani berbuat apa-apa daripada jiwanya terancam (Pos Kota, 22 Nopember 2007). Kendaraan mewah yang melintas di tengah kemacetan lalu lintas merupakan “sasaran empuk” bagi para pelaku kejahatan tersebut. Beberapa merk kendaraan yang sering jadi incaran di antaranya mobil Toyota Alpard, Honda Jazz, dan Toyota Harrier.

Menurut Sutherland (1939), dalam bukunya Principles of Criminology, dalam salah satu preposisinya menyatakan bahwa tingkah laku jahat dipelajari dan tingkah laku jahat dipelajari ketika berinteraksi dengan orang-orang lain dalam proses komunikasi (Muhammad Mustofa, 2007: 81). Karena itu para pelaku kejahatan dalam melakukan kejahatannya memiliki kriteria dalam memilih korbannya serta mempelajarinya. Selain itu para pelaku kejahatan berfikir rasional, mereka mempertimbangkan situasi serta menghitung keuntungan dan kerugiannya ketika tertangkap. Para pelaku kejahatan tidak pernah memilih calon mangsa. Siapa pun, sepanjang situasi memungkinkan, akan mereka lakukan. Sasaran lain yang rentan terhadap aksi kejahatan adalah pengendara wanita, mereka menjadi salah satu korban yang sering diincar, tak hanya menggasak kaca spion tapi juga barang berharga lainnya. Jangan sekali-kali mencoba untuk menggunakan HP saat kendaraan terjebak macet, dalam sekejap barang tersebut bisa berpindah tangan. Aksi ini biasa dilakukan oleh para pelaku kejahatan yang menamakan diri sebagai kelompok ‘kapak merah’. Modus operandinya pelaku menggetok kaca mobil minta korban menyerahkan HP, perhiasan yang dikenakan, dompet dan barang berharga lainnya. Berani melawan, kaca mobil bisa langsung dihantam, saat itulah kawanan pelaku merampas harta korban lalu kabur. Tidak hanya itu, pelaku tak segan-segan membacok korbannya. Daripada menjadi korban sia-sia (mati konyol), banyak korban membiarkan saja aksi mereka.

Selain pengendara/pengemudi kendaraan pribadi, penumpang angkutan umum juga harus memiliki kewaspadaan ekstra. Kawanan penjahat di angkutan umum (bis kota, mikrolet, kendaraan omprengan) juga banyak beraksi dengan sasaran penumpang wanita yang mengenakan perhiasan emas atau penumpang yang menggunakan / memakai barang-barang yang mengundang para pelaku kejahatan. Para pelaku kejahatan ini melompat naik angkutan umum itu saat kendaraan terjebak di jalan macet. Korbannya, tak jarang semua penumpang mobil sekaligus dirampok, harta benda dikuras di bawah todongan golok dan clurit. Meskipun sopir menyaksikan tak bisa berbuat apa-apa karena mendapat ancaman dari para pelaku kejahatan tersebut. Begitupula penumpang bajaj, paling sering jadi korban penodongan dan perampasan di sela-sela kemacetan lalulintas (Pos Kota, 22 Nopember 2007).

Banyaknya aksi kejahatan berupa mencongkel spion, penodongan, perampokan dan kejahatan lainnya kerap terjadi di tempat-tempat kemacetan ini. Menciptakan Jakarta yang aman sebagai kota metropolitan bukanlah pekerjaan mudah bagi aparat penegak hukum (polisi) yang seringkali menjadi tumpuan masyarakat. Untuk mengatasi aksi-aksi tersebut dibutuhkan kerjasama semua pihak, termasuk kewaspadaan masyarakat itu sendiri terhadap dirinya, tidak membawa perhiasan berlebihan sehingga terhindar dari sasaran pelaku kejahatan yang berniat melakukan kejahatan. Setelah krisis keadaan makin semrawut, pedagang kaki lima akibat hempasan krisis membeludak di jalan. Jalanan menjadi korban keadaan ekonomi yang memburuk. Berbagai kriminalitas berkembang di jalan, seperti copet, jambret, atau penodongan. Karena itu pembenahan yang dibutuhkan harus komprehensif di segala bidang, bukan saja pada sisi transportasinya saja.

Sepanjang ekonomi makin buruk, kegiatan-kegiatan yang memberi dampak negatif pada sistem lalu lintas / transportasi akan terus terjadi. Sebab persoalan kemacetan ini muncul selain tidak seimbangnya pertumbuhan kendaraan (terutama pribadi) dengan kapasitas jalan, juga akibat arus urbanisasi yang deras, dana yang terbatas, dan lemahnya koordinasi antarinstansi terkait. Di samping itu, disiplin masyarakat rendah dan penegakan hukum juga lemah.

Menurut Paulus Wirutomo, Sosiolog UI, ketidakdisiplinan juga merupakan sikap budaya yang diakibatkan oleh struktur jalan. Sistem transportasi yang ada menimbulkan rasa tidak aman. Tidak aman terhadap ancaman tindakan kriminal di jalan maupun tidak aman karena aturan berlalu lintas sulit ditegakkan akibat kepadatan jalan. Pemakai jalan sering merasa "terancam" jika mereka mengikuti aturan, mereka justru dikalahkan oleh orang yang melanggar aturan. Ini menjadi pola kultural yang terbentuk akibat kondisi struktural yang ada (Kompas, 1 November 2003).

Tantangan Polisi.

Kepentingan polisi dalam kedudukannya sebagai penyidik tindak pidana menggambarkan bahwa penegak hukum dalam konteks Criminal Justice System, polisi merupakan garda terdepan sebagai pintu gerbang utama dari aparat penegak hukum lainnya. Karena itu kedudukan polisi dalam Criminal Justice System merupakan ujung tombak proses peradilan tindak pidana. Selain itu kedudukan polisi merupakan ujung tombak perubahan social. Hukum merupakan sarana penting dalam rekayasa sosial, yang berarti bahwa setiap aturan hukum yang bertujuan memberi kepastian hukum dan keadilan dalam rangka penegakkan hukum.

Terkait dengan terjadinya kemacetan lalu lintas yang menjadi-jadi akhir-akhir ini serta timbulnya aksi kejahatan di sela-sela kemacetan lalu lintas, lengkaplah beban tugas polisi dalam menghadapi masalah tersebut. Pada satu sisi polisi dituntut oleh masyarakat untuk mengurai kemacetan lalu lintas, pada satu sisi polisi dituntut untuk menaggulangi dan mencegah terjadinya aksi-aksi kejahatan jalanan. Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas dan kejahatan jalanan menyebabkan polisi harus bekerja ekstra.

Pemerintah daerah hampir tidak pernah melakukan koordinasi dengan polisi dalam menentukan kebijakan pembangunan kawasan. Kurangnya koordinasi tersebut menyebabkan munculnya banyak persoalan mengenai kemacetan lalu lintas, terutama di ruas jalan yang berdekatan dengan kawasan pusat perniagaan dan akses keluar jalan tol (Kompas, 26 Februari 2005). Dalam menangani masalah kemacetan lalu lintas, polisi hanya berkewajiban sampai pada pengaturan lalu lintas. Namun, jumlah kendaraan terus bertambah, sedangkan infrastruktur jalan masih tetap seperti semula sehingga kemacetan tak dapat dihindarkan. Belum lagi banyaknya pembangunan pusat perbelanjaan dan perkantoran yang tak mempertimbangkan aspek lalu lintas. Lihat saja betapa banyak pusat perbelanjaan yang dibangun di dekat persimpangan jalan. Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi, pusat perbelanjaan itu dibangun di sekitar pintu keluar jalan tol. Akibatnya, arus kendaraan dari tol yang ingin keluar berbenturan dengan kendaraan yang keluar masuk dari pusat perbelanjaan. Di Jakarta ini, semuanya tak tertata dengan baik karena tak ada koordinasi dalam pembangunan kawasan. Hari ini jalan digali untuk perbaikan pipa air, besok digali untuk kabel telepon. Begitu pula, dalam pembangunan pusat niaga tidak memerhatikan aspek lalu lintas.

Tugas berat di pundak polisi, selain kemacetan lalu lintas di ibu kota juga kejahatan jalanan (street crime). Melihat modus oprandi mereka dalam beraksi, bahkan ada kecenderungan ‘naik kelas’ dalam pemilihan target korbannya, sangat mungkin para pelaku kejahatan tersebut merupakan mereka yang menjadikan kejahatan sebagai pekerjaan. Pencuri yang menjadikan tindakannya sebagai cara mencari nafkah, sehingga mencapai tataran profesional, pencuri tersebut tidak lagi pernah tertangkap ketika melakukan pencurian (Muhammad Mustofa, 2007: 82) Secara formal, kemungkinan mereka memiliki profesi yang terhormat di masyarakat, tetapi dari aspek ekonomi ternyata mereka mengandalkan dari hasil kejahatan. Buktinya, dalam beberapa kasus, polisi menemukan anggota kelompok semacam ini memiliki profesi ganda. Profesi ‘putih’nya bisa seorang sopir taksi, pedagang, bahkan anggota TNI/Polri, dan lain sebagainya. Tetapi di lain waktu, mereka juga memiliki ‘profesi’ hitam sebagai perampok atau pelaku kejahatan jalanan (Pos Kota, 27 Oktober 2007).

Menurut Prof. Dr. Tb Ronny Rahman Nitibaskara, Kriminolog UI, jika dilihat dari sebab timbulnya kejahatan, fenomena maraknya perampokan termasuk kejahatan jalanan tampaknya makin variatif mengingat realitas sosial kita pada saat ini dalam keadaan serba transisi, kalau tidak boleh dibilang serba agak kusut (Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, 2001: 255). Realitas kejahatan di kota metropolitan seperti Jakarta memang semakin kompleks. Karena itu, dengan maraknya aksi kejahatan, apa yang sedang atau akan dilakukan polisi untuk mengatasinya? Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi, saatnya kini warga Jakarta membutuhkan kewaspadaan dan ketegasan bertindak dalam menghadapi kejahatan. Masyarakat tidak mungkin hanya mengandalkan polisi, tanpa peran serta masyarakat dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan ibukota, polisi tidak akan mampu bekerja sendiri. Kalau pada masa lalu kita mendengar perintah ‘tembak di tempat’ dan hasilnya langsung terasa, hari ini tak berlaku lagi model semacam itu. Tetapi tuntutannya tetap sama, yaitu rasa aman publik. Menggalang dukungan dan peran serta masyarakat menjadi kebutuhan strategis, tetapi pada saat yang sama profesionalisme dan integritas polisi menjadi syarat mutlak.

Bahan Bacaan:

Prof Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara: Ketika Kejahatan Berdaulat; Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi. Jakarta, PT Peradaban, 2001.

Prof. Dr. Muhammad Mustofa: Kriminologi; Kajian Sosial terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Jakarta, Fisip UI Press, 2007.

Kompas, 1 November 2003

Kompas, 26 Februari 2005

Pos Kota, 27 Oktober 2007

Pos Kota, 22 Nopember 2007

Jakarta, Nopember 2007

Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter