-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan

KEDUDUKAN KORBAN TINDAK KEKERASAN
TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DALAM ASPEK MEDIS

Oleh : Bripda Atang Setiawan, A.Md, S.Sos *)


1. Pendahuluan.

Banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi dalam masyarakat pada saat ini menyebabkan perlunya penanganan yang serius bagi korban tersebut. Dalam rangka penanganan korban kekerasan tersebut tidak mungkin dapat ditangani oleh penyidik secara langsung tetapi memerlukan berbagai aspek dalam memulihkan kondisi korban. Kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam masyarakat menunjukkan angka kejadian yang jauh lebih besar sebagaimana biasanya fenomena gunung es, yaitu diperkirakan dua hingga sepuluh kali lipat dari angka kejadian yang tercatat di kepolisian maupun di rumah sakit.

Pada kenyataannya perempuan dan anak sebagai korban kekerasan tidak semata-mata sebagai korban tindak pidana, tetapi juga berperan sebagai pasien yaitu manusia yang merupakan subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Oleh karena itu seorang korban tidak seutuhnya menjadi barang bukti tetapi yang menjadi barang bukti pada tubuh korban hidup tersebut adalah perlukaan beserta akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya, karena barang bukti tidak dapat dipisahkan dari orangnya maka tidak dapat disegel atau disita sehingga yang dapat dilakukan yakni dengan menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk “visum et revertum”.


2. Gambaran Keadaan Korban.

Seperti halnya pada korban perkosaan, barang bukti seringkali tidak dapat dikumpulkan karena korban memilih untuk membersihkan dirinya dan tempat kejadian guna membuang jauh-jauh segala hal yang bersangkut dengan peristiwa yang dialaminya. Padahal barang bukti merupakan salah satu elemen penting dalam rangka menindaklanjuti laporan korban. Tanpa saksi dan barang bukti, proses hukum tidak dapat berlangsung seperti yang diharapkan. Tidak hanya perih yang menjadi-jadi dirasakan korban, polisi yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak akan merasa terpukul karena kegagalannya dalam membantu korban. Padahal vonis dan hukuman setimpal yang diterima pelaku kejahatan akan memberikan efek terapetik tidak langsung kepada korban.

Adanya putusan hakim dengan hukuman yang setimpal terhadap pelaku dengan perbuatannya secara tidak langsung akan memberikan efek terapetik bagi korban. Walaupun bagi perempuan dan anak korban tindak kekerasan, putusan pengadilan yang memenangkan korban dalam perkaranya tidak dapat menjamin korban akan mendapatkan rasa aman dan adil. Ketika korban kembali pada komunitasnya, korban harus tetap menghadapi stigma dari masyarakat karena ia dianggap sebagai orang yang “ternoda”.

Perempuan dan anak korban kekerasan akan menghadapi masalah dan penderitaan sehubungan dengan tindak kekerasan yang diterimanya. Selain penderitaan fisik, penderitaan yang lebih berat lagi mereka harus menghadapi masalah sosial akibat adanya diskriminasi dan stigmatisasi (kesan atau prasangka buruk dari masyarakat sekitarnya). Masalah diskriminasi dan stigmatisasi terhadap korban baik selama pemeriksaan medis maupun penyidikan harus dihindari sejauh mungkin untuk tidak menambah beban korban. Korban memerlukan pelayanan yang baik dari petugas medis maupun petugas penyidik dalam rangka memulihkan kondisinya.

Reaksi korban yang pertama akan timbul adalah rasa tidak percaya diri, marah, sedih dan sebagainya sebelum sampai pada taraf menerima dan pasrah atau bangkit kembali untuk berjuang mengahadapi dan memperbaiki masa depannya. Pada umumnya korban tindak kekerasan terutama korban perkosaan akan mengalami trauma psikis yang berat setelah kejadian dan sulit untuk dipulihkan. Korban akan dihinggapi rasa takut terhadap reaksi teman-temannya, takut bahwa orang lain tidak akan mempercayai keterangannya, takut untuk diperiksa oleh dokter, takut untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya serta takut kalau pelaku melakukan balas dendam bila ia melaporkannya.

Selain korban perkosaan dengan menunjukkan tanda-tanda kekerasan khusus, beberapa bentuk perlukaan yang sering dikaitkan dengan tindak kekerasan atau penganiayaan antara lain:

a. Memar akibat tamparan yang kuat dengan meninggalkan bekas telapak tangan.

b. Memar yang membentuk gambaran jari dan ibu jari sering nampak pada muka.

c. Memar yang membentuk garis, lengkungan atau lingkaran akibat benda-benda tumpul seperti ikat pinggang, kabel dan sebagainya.

d. Luka bakar yang berbentuk khas sebagai akibat dari sundutan rokok atau setrika atau luka bakar akibat cairan panas yang terletak pada lokasi yang janggal.

Akibat tindak kekerasan yang menyebabkan luka fisik tersebut perlu mendapatkan pengobatan dan perawatan medis. Perawatan dan pengobatan korban kekerasan melalui aspek medis akan membantu dan mendorong korban untuk segera memulihkan kondisi kesehatannya.


3. Posisi Korban Kekerasan.

Perempuan dan anak korban kekerasan pada umumnya akan merasakan penderitaan jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Karena itu dalam setiap peristiwa kejahatan atau kekerasan, pihak korban merupakan pihak yang paling menderita dan dirugikan. Perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan khususnya apabila menyangkut kekerasan atau kejahatan seksual, akan mengalami trauma atau beban mental yang berkepanjangan terutama dari aspek fisik, mental maupun sosial.

Pada kenyataannya pemeriksaan yang dilakukan polisi, meskipun dilakukan demi kepentingan korban sendiri justru mensyaratkan para korban untuk menceritakan kronologis kejadian yang telah mereka alami. Dalam proses penyidikan, korban seringkali mendapatkan tekanan sehingga mendorong korban untuk diam dan tidak mengungkapkan kasus yang sebenarnya terjadi. Situasi yang sama juga terdapat di dalam ruang persidangan. Beberapa fakta mengenai korban menunjukkan bahwa :

a. Secara fisik; korban kekerasan akan mengalami gangguan kesehatan / fisik baik yang bersifat temporer maupun permanen seperti korban menderita cidera, luka atau cacat pada tubuh korban dan atau akan mengakibatkan kematian sehingga akan berpengaruh terhadap timbulnya gangguan psikis.

b. Secara psikis; korban kekerasan akan mengalami trauma psikis yang berkepanjangan, seperti merasa ketakutan, hilangnya percaya diri dan kemampuan untuk bertindak serta merasa tidak berdaya. Apalagi bila penanganannya dilakukan secara kurang manusiawi seperti menjadi objek pemberitaan media massa yang tidak bertanggung jawab, maupun proses penyidikan yang tidak efisien dan sebagainya.

c. Secara Seksual; korban akan menderita karena mengalami kerusakan alat kelamin maupun bagian-bagian tubuh yang vital lainnya. Akibat kerusakan bagian tubuh yang vital tersebut korban merasa sebagai orang yang “ternoda” dan merupakan aib bagi korban sendiri maupun keluarga korban.

d. Secara sosial; korban akan mengalami pendiskriminasian secara social, sehingga dalam kehidupan social korban akan terganggu. Korban merasa dikucilkan dalam kehidupan sosialnya serta seringkali mendapatkan stigmatisasi atau predikat buruk dalam masyarakat.

e. Secara hukum; korban selalu berada pada pihak yang lemah oleh karena ketentuan perundang-undangan di Indonesia yang mensyaratkan unsur-unsur pembuktian yang lengkap akan lebih menambah trauma bagi korban. Bukti-bukti yang lebih lengkap tersebut akan digali dari pengakuan korban sehingga korban merasa tereksploitasi secara psikis dan pada akhirnya akan menambah beban psikis korban.

Karena itu kurangnya pengetahuan dan keterampilan penyidik Polri dalam melakukan penyidikan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, justru akan menambah beban mental korban itu sendiri. Korban akan merasa dieksploitasi dan akan mengalami viktimisasi yang kedua kali.[1] Oleh karena itu tehnik penyidikan dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan jelas sangat diperlukan untuk mengungkap kronologis kejadian yang menimpa korban. Adanya tehnik pemeriksaan dan penyidikan perempuan korban kekerasan yang dilakukan oleh polisi selaku penyidik yang bersamaan waktunya dengan pemeriksaan secara medis pada fasilitas kesehatan akan memudahkan petugas penyidik Polri dalam mendapatkan pengakuan dan keterangan dari korban.

Andrew Karmen (1995) menyatakan bahwa polisi merupakan salah satu wakil / unsur dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) dimana korban dipertemukan dengan segera setelah terjadi kejahatan, dan mereka menolongnya pada kesempatan pertama. Polisi merespon dengan cepat jika dipanggil untuk menolong serta menyediakan bantuan secepatnya.[2] Oleh karena itu perlunya perlindungan dan pendampingan terhadap korban sebagai bantuan dan pertolongan bagi korban yang berada dalam kondisi traumatik dan terpuruk secara mental dan social terutama bersaksi di depan pengadilan. Padahal pengakuan dan keterangan korban akan sangat membantu dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan secara hukum. pengakuan korban merupakan bukti yang sangat berharga yang perlu dipertimbangkan dalam mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan. Selain itu peranan polisi wanita akan sangat membantu dalam proses penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan. Korban kekerasan terhadap perempuan akan lebih pantas jika diperiksa oleh aparat kepolisian yang berjenis kelamin perempuan. Seorang korban perempuan akan merasa lebih nyaman dalam menjalani pemeriksaan apabila berhadapan dengan polisi wanita.

Penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan secara hukum merupakan suatu sarana yang dapat memiliki kekuatan yang legal bagi korban untuk mendapatkan kepastian hukum. Apalagi kasus kejahatan seksual terhadap perempuan yang akan membawa dampak yang sangat buruk bagi korban. Oleh karena itu pemeriksaan dan penyidikan terhadap perempuan korban kekerasan harus dilakukan oleh petugas yang benar-benar berempati agar tidak terjadi reviktimisasi serta untuk menghindari kondisi korban bertambah parah. Tehnik empati yang digunakan penegak hukum dalam melakukan penyidikan dengan menempatkan diri pada situasi dan keadaan menurut perspektif korban, namun hal tersebut bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah, oleh karena itu diperlukan petugas yang benar-benar kompeten dalam menangani korban kekerasan terhadap perempuan. Di samping itu pertimbangan lain adalah mengingat sifat tindak kekerasan terhadap perempuan dalam masyarakat masih dianggap sebagai masalah pribadi dan berbahaya. Perempuan yang menjadi korban kekerasan tidak mudah untuk diidentifikasi karena korban kekerasan lebih memilih untuk menyimpan rahasia tindak kekerasan yang menimpanya.

Carol Smart (1990) mengemukakan bahwa masalah yang perlu direformasi menurut para feminis adalah hak-hak bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan untuk mendapatkan penanganan dari dokter perempuan, aparat kepolisian perempuan dan menciptakan legal advocate untuk melindungi kepentingan korban selama proses peradilan berlangsung.[3] Selain itu perlu juga keterangan saksi ahli seperti kriminolog maupun psikolog yang mampu menjelaskan dampak yang akan timbul pasca kekerasan. Sehingga korban yang mengalami trauma, depresi serta stigmatisasi secara social mampu memberikan keterangan atau informasi dari korban tentang peristiwa yang menimpanya. Karena itu dengan adanya dukungan dari berbagai pihak yang berempati terhadap perempuan korban kekerasan akan mampu mendorong korban untuk berani melaporkan dan mengungkapkan kejadian apa yang sebenarnya terjadi.

Adanya korban tindak kekerasan terhadap perempuan tidak terlepas dari adanya budaya patriarki yang mengedepankan kepentingan laki-laki. Budaya patriarki membentuk system social yang mengagungkan peran dominan ayah dalam lingkup keluarga inti, keluarga luas serta lingkup publik seperti ekonomi. Feminis radikal mempertegas bahwa dominasi laki-laki terdapat pada semua bidang seperti politik, ekonomi, agama maupun seksualitas.[4] Sehingga tidak dapat dipungkiri sebagai akibat dari patriarki penindasan gender laki-laki terhadap perempuan telah membuat perempuan tersubordinasi melalui struktur ekonomi, politik, hukum, social dan budaya. Oleh karena itu patriarki secara umum identik dengan kekuasaan laki-laki sebagai instrumen untuk mendominasi perempuan melalui berbagai cara. Allison Morris (1989), mencatat bahwa kejahatan terhadap perempuan mempunyai karakteristik tertentu yakni kebanyakan perempuan menjadi korban kejahatan atau tindak kekerasan oleh pria [5].

Demikian halnya dengan tindak kekerasan terhadap perempuan seperti perkosaan, menurut Lee Ellis (1989) secara ekonomi dan pengambilan keputudan sosio-politik, perempuan memiliki akses yang jauh lebih kecil dan terbatas jika dibandingkan dengan pria. Perilaku tersebut merupakan hasil keputusan pria untuk mengekspresikan cara pendominasian, merendahkan serta penguasaan mengenai segala hal yang dimiliki perempuan. Demikian halnya Andrew Karmen (2001) yang mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan berupa perkosaan, perempuan lebih banyak menjadi objek kekerasan seksual dari pada laki-laki. Peristiwa tersebut menunjukkan adanya ketimpangan gender yakni penindasan oleh laki-laki terhadap perempuan dalam hal pelaku dan korban kejahatan. Oleh karena itu bentuk kekerasan terhadap perempuan tersebut menunjukkan bahwa perempuan sangat rentan (vurnerable) terhadap tindak kekerasan baik domestik, publik maupun oleh negara.

Keberanian korban untuk melaporkan kasus tindak kekerasan kepada RPK akan sangat membantu petugas RPK dalam mengungkap dan menyelesaikan kasus tindak kekerasan yang menimpanya. Purnianti (1995) melihat ada empat hal yang membuat korban pada akhirnya terbangkit kesadarannya untuk memperbaiki hidup, yaitu :

a. Ketidakmampuan korban untuk menghadapi tindakan berlebihan pelaku atas dirinya, tindak kekerasan yang diluar batas.

b. Munculnya kesadaran diri akan adanya kepastian hukum jika korban bersedia melaporkan pelaku pada aparat keamanan, kemunculan kesadaran diri ini bisa didorong karena informasi yang diperolehnya dari media massa dll.

c. Munculnya kepercayaan untuk mengadukan masalah pada lembaga penanganan sejenis karena kredibilitas dan kapabilitas lembaga yang sudah diketahuinya / dibuktikannya.

Referensi.

Harian Kompas, 19 Mei 2003. Hal. 43.

Karmen, Andrew: Crime Victim; An Introduction to Victimology, 4th. Ed. Belmont, USA. 1995. Wadswort/Thomson Learning.

Luh Ayu Saraswati A : Kekerasan Negara, Perempuan dan Refleksi Negara Patriarki, dalam Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan.

Romany Sihite: Keberpihakan Hukum Atas Korban Perkosaan, makalah dalam Wanita, Kejahatan dan Keadilan, Jurusan Kriminologi Fisip – UI. 1998



[1] Harian Kompas, 19 Mei 2003. Hal. 43.

[2] Karmen, Andrew: Crime Victim; An Introduction to Victimology, 4th. Ed. Belmont, USA. 1995. Wadswort/Thomson Learning. Hal. 148.

[3] Romany Sihite: Keberpihakan Hukum Atas Korban Perkosaan, makalah dalam Wanita, Kejahatan dan Keadilan, Jurusan Kriminologi Fisip – UI. 1998, Hal. 16.

[4] Luh Ayu Saraswati A : Kekerasan Negara, Perempuan dan Refleksi Negara Patriarki, dalam Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan. Hal 40.

[5] Sihite, Romany. ibid. Hal. 3.

Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter