-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Fear of Crime

FEAR OF CRIME, POLISI BERBUAT APA?

Oleh: Atang Setiawan

Fear of Crime.

Saat ini masyarakat dibuat kaget dengan kenaikan harga BBM, kenaikan berbagai tarif pelayanan umum (telepon, air, lsitrik) yang kemudian memicu kenaikan harga seluruh kebutuhan hidup masyarakat. Di samping itu masyarakat pun menjadi waswas dan cemas terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan seperti pencurian dan perampokan yang tidak mengenal waktu dan rasa kasihan pada korbannya.

Apa yang ingin kita katakan, :”Mencemaskan, atau menakutkan”? Mungkin, itulah salah satu kata yang paling tepat untuk diungkapkan ketika kita mendengar atau melihat fenomena aksi pencurian maupun perampokan yang terjadi akhir-akhir ini di perkotaan.

Jika dilihat dari modus operandinya, pelaku pencurian maupun perampokan cenderung semakin nekat, brutal, dan menantang seperti gaya koboi, bahkan tanpa rasa takut akan tertangkap polisi dan sangat profesional dalam menjalankan aksinya.

Dengan adanya fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa kejahatan perampokan yang terjadi di kota besar tidak dapat dianggap sebagai peristiwa kriminal biasa karena dampak psikososial yang ditimbulkan bagi masyarakat sangat besar. Masyarakat merasa sekarang ini kehilangan rasa aman atau setidaknya rasa aman tengah mencapai titik nadir dan yang muncul adalah perasaan waswas dan tidak tenang (Suara Merdeka, Selasa, 08 Maret 2005).

Ketakutan warga masyarakat terhadap meningkatnya kuantitas dan kualitas kejahatan sudah menjadi sebuah epidemi. Setiap terjadi adanya kejahatan tertentu, masyarakat akan mengalami rasa ketakutan akan kejahatan dan merasa tidak terlindungi oleh aparat penegak hukum dalam hal ini aparat kepolisian. Ketakutan masyarakat inilah yang menyebabkan masyarakat berharap banyak pada tindakan antisipasi aparat penegak hukum terutama polisi untuk menjamin perlindungan bagi masyarakat.

Masyarakat pada umumnya dihinggapi perasaaan fear of crime atau ketakutan terhadap kejahatan yang sewaktu-waktu akan mengancam dirinya. Berbagai kasus perampokan telah menimbulkan trauma, yang pada akhirnya secara tidak langsung dapat merugikan perkembangan dan kegiatan ekonomi yang tengah berkembang. Dengan maraknya kasus perampokan, tentu saja akan selalu dikaitkan dengan kinerja aparat keamanan, terutama dalam hal ini kepolisian sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Sikap sinisme terhadap polisi, tidak dapat dielakkan jika hamba penegak hukum tersebut dianggap gagal dalam mengungkapnya. Sebagian masyarakat menganggap, polisi tidak mengupayakan secara maksimal untuk menanggulangi kriminalitas yang sangat meresahkannya.

Dari berbagai kasus perampokan yang terjadi memang banyak yang dapat diungkap oleh polisi. Namun ada pula kasus yang hingga kini belum dapat dituntaskan dan belum dapat ditangkap pelakunya. Bahkan, para perampok seperti ”meledek” dan hendak mempermalukan polisi. Pada saat kasus perampokan yang satu masih diselidiki, telah terjadi lagi kasus berikutnya dengan modus operandi yang hampir sama.

Polisi berbuat apa?

Walaupun tergolong sebagai property crime (kejahatan terhadap harta benda), tetapi karena modus operandinya menggunakan sarana dan cara-cara kekerasan dengan jumlah pelaku lebih dari satu orang, maka dalam setiap peristiwa perampokan selalu terdapat kemungkinan timbulnya korban (Tb. Ronny R. Nitibaskara: 2006, 209).

Polisi dan kalangan penegak hukum, dalam rangka mengatasi aksi kejahatan yang terjadi mengembangkan strategi yang meliputi tahapan, sebagai berikut :

Pertama, melakukan crime reduction program yang bertujuan mengurangi kemungkinan kejahatan berupa pencegahan seperti kegiatan merazia senjata api, memeriksa kepemilikan surat kendaraan bermotor, menempatkan personel kepolisian di tempat-tempat rawan, dan berbagai upaya untuk mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan untuk beraksi.

Kedua, meningkatkan crime control program yang dirancang untuk mengendalikan kejahatan dan meningkatkan kemungkinan pengungkapan kejahatan serta memperluas efektivitas penjeraan (deterence) terhadap pelaku. Kemampuan profesional dan teknologi untuk mengungkap kejahatan harus dimiliki oleh polisi mengingat semakin canggih modus operandi pelaku.

Ketiga, membangun criminal justice program yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan unsur-unsur sistem peradilan pidana dalam menangani pelaku kejahatan. Sinergi antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sangat perlu untuk menuntaskan proses hukum pelaku kejahatan. (Moh Jamin: Suara Merdeka, Selasa, 08 Maret 2005)

Secara teoritis, strategi dalam mencegah dan menanggulangi kriminalitas pada umumnya (termasuk perampokan) perlu dilandasi beberapa pertimbangan. Pertama, sifat, intensitas, frekuensi, dan luas kejahatan dalam masyarakat. Kedua, faktor-faktor sosio kultural, interaksi, pencetus dan reaksi sosial yang melatarbelakangi pelaku kejahatan baik pelaku kejahatan kali pertama (first-crime) maupun karier (residivis). Ketiga, pemahaman tipologi kejahatan yang didasarkan pada peranan, kesinambungan pelaku, identitas dan konsep diri, cara melakukan, pengelompokan pelaku, dan karier pelakunya. Keempat, sifat dan luas reaksi sosial dari masyarakat termasuk sikap dan pandangan masyarakat terhadap derajat keseriusan kejahatan, citra penegak hukum, serta pola tindakan warga terhadap peristiwa kejahatan. (Moh Jamin; Suara Merdeka, Selasa, 08 Maret 2005).

Berdasarkan aspek-aspek tersebut, tampak bahwa pencegahan dan penanggulangan perampokan yang semakin menjadi-jadi, aparat kepolisian tidak dapat berjalan sendiri tetapi mutlak harus mendapat dukungan dari semua pihak terutama dari pihak yang berkepentingan (pengusaha, pemilik uang, perbankan) serta masyarakat pada umumnya.

Salah satu faktor pencetus kejahatan perampokan bisanya tidak lepas dari kecerobohan korban yang kurang hati-hati atau kelemahan proteksi keamanannya. Pengamanan diri sangat penting dilakukan di luar adanya pengamanan oleh aparat kepolisian. Sehingga yang terjadi, korban sendiri memberikan andil terjadinya perampokan karena membawa uang terlalu mencolok atau menolak pengawalan polisi ketika membawa uang dari dan ke tempat yang dituju. Memang ada permasalahan, meski pengawalan polisi dikatakan "gratis", masyarakat tetap kurang percaya. Hal ini tidak lepas dari citra dan kesan masyarakat yang negatif terhadap polisi. Di samping itu juga adanya sikap "pelit" masyarakat untuk sedikit keluar biaya demi keselamatan yang lebih besar. Dalam hal ini, prinsip simbiosis mutualisma sesungguhnya tepat digunakan. Kerja sama dengan perbankan menjadi sangat penting. Sebab, dengan menginformasikan kepada polisi terhadap nasabah yang membawa uang akan memudahkan aparat memberikan pengawalan / pengamanan ataupun memberikan akses data dan informasi perbankan kepada polisi untuk mengungkap pelaku kejahatan.

Karena itu masyarakat sangat berharap polisi segera menangkap pelaku kejahatan dan memberikannya hukuman yang berat, sehingga lingkungan masyarakat aman kembali. Namun tidak mudah memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa ada faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya kejahatan, namun paling tidak, tindakan polisi yang tanggap dan segera mengambil langkah-langkah yang tepat, dapat menghilangkan rasa takut dan mengembalikan rasa aman masyarakat.

Di samping itu, strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada komitmen pemerintah untuk menghapus kondisi sosial melalui pembangunan yang berbasis kebutuhan masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang dapat menjamin suatu kehidupan masyarakat yang bebas dari kelaparan, kemiskinan, kebodohan, penyakit serta adanya jaminan bagi masyarakat untuk hidup dalam lingkungan yang sehat dan bebas dari rasa takut.


Jakarta, 25 Maret 2008

Atang S
Lahir dan dibesarkan di sebelah selatan kaki Gunung Ciremai, Kuningan - Jawa Barat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter